clavishorti's reviews
115 reviews

I Who Have Never Known Men by Jacqueline Harpman

Go to review page

adventurous challenging dark emotional mysterious reflective sad tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? No

4.0

“Sometimes the women pitied me, saying that at least they’d known real life, and I was very jealous of them, but they died, as I am about to die, and what does having lived mean once you are no longer alive?” 
 
As I began the year 2025, I read I Who Have Never Known Men by Jacqueline Harpman, translated into English by Ros Schwartz. The narrator, known only as the child, guides me through a world seen from a perspective untouched by life itself—through the eyes of a child living in complete isolation. I feel as though I, too, am sitting beside the child in the silence of the bunker, surrounded by the questions resounding in my mind: about God, emptiness, civilization, society, life, death, and the complexities of human emotions. Amid these thoughts, I realize that, perhaps unknowingly, we’ve built walls around our understanding, limiting the way we perceive the world and preventing us from seeing its true vastness. 
 
What truly struck me in this book was how it sheds light on the power of knowledge. The child, who has no context of the world, radiates a curiosity that’s pure and boundless. Things that seem ordinary to us—like time or tasting orange juice—transform into awe-inspiring discoveries in the child’s eyes. It’s a reminder of how valuable knowledge really is, like a light shining through the darkness. Too often, we forget that the smallest things can open new windows of curiosity, expanding our understanding in ways we don’t expect. 
 
I also found myself thinking about Sophie Mackintosh’s Afterword, especially when she talks about “want” and “desire”. These impulses feel so natural to us, like they’re just built into who we are. But when you really stop and think about it, desire can seem kind of strange, even a little absurd. It’s a reminder that our drives are more complicated and mysterious than we often give them credit for. Maybe that’s part of what makes the book so human, even though it takes us beyond the familiar world we know. 
 
One of the most memorable parts of the story is how the child comes to understand women. Despite her limited knowledge, she begins to see their incredible strength—they build, sew, cook, and fight to survive in the harshest conditions. What strikes her most is the bond they share: how they support and uplift one another, finding ways to endure even in overwhelming circumstances. This bond feels instinctive, almost like a protective shield against deep pain and sorrow. Through her eyes, we come to view women not only in their physical presence but also in their emotional depth, as sources of profound strength and resilience. They embody compassion and an extraordinary ability to endure and love, reminding us of the power in seeing the world with fresh eyes and an open heart. 
 
And then there’s something truly unique about this book: it has no chapters. I’m not sure if the printed version includes them, but in the digital version, there are none. The story flows seamlessly, without breaks, from beginning to end. At first, I expected a major event or a heartwarming twist to close the story—something definitive that would leave a clear emotional mark. But in the end, I realized this was just my own expectation. Instead, I felt like the child and the 39 other women in the bunker, quietly clinging to a fragile spark of hope for something ahead. Still, the ending left me deeply moved—it broke my heart, but somehow also brought me a strange sense of relief. It’s hard to explain, but I felt satisfied with how it all concluded. For me, I Who Have Never Known Men is a journey about learning to see the world in an entirely new way. It’s like being invited to start fresh, to view everything with open eyes and boundless curiosity. As Sophie Mackintosh beautifully writes, “No life is ordinary. No life is without hope, without light, even during the unimaginable.” 

Expand filter menu Content Warnings
Si Bengkok by Sao Ichikawa, Sao Ichikawa, 市川 沙央

Go to review page

adventurous challenging dark emotional mysterious reflective sad fast-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0


Aku benci kesombongan nan abai para “pencinta buku” yang tidak sadar akan privilese mereka. Kepalaku yang berat terasa sakit karena nyaris tidak tertopang oleh leherku yang bengkok, pinggangku yang menekuk dan melulu menghancurkan organ dalamku, membuatku selalu kalah dalam lomba tarik tambang dengan gravitasi bumi karena postur tubuhku condong ke depan. Setiap kali membaca buku kertas, aku merasa tulang belakangku sedikit demi sedikit melengkung.

Si Bengkok karya Ichikawa Saou adalah sebuah karya yang telah berhasil memikat jiwa saya sejak pertama kali diumumkan akan hadir dalam bahasa Indonesia. Meskipun terkurung dalam kurang dari seratus halaman, narasi yang padat dan berani ini mengisahkan seorang perempuan bernama Izawa Shaka, yang tulang belakangnya melengkung serupa huruf S. Kondisi ini memaksanya untuk menempuh kehidupan yang terasing di dalam tembok megah Group Home milik keluarganya, sebuah tempat yang disediakan bagi individu berkebutuhan khusus—termasuk dirinya sendiri. Dalam belenggu yang mengekang ini, Izawa Shaka berjuang melawan norma-norma sosial yang selama ini dianggap tabu; ia menulis cerita-cerita stensil dewasa, mencurahkan perasaan terdalamnya di media sosial yang dipandang menyimpang, seraya mempertanyakan makna “kenormalan” yang bagi banyak insan tampak bagai suatu puncak yang tak mungkin ia raih. 
 
Ketika pertama kali saya menyelami halaman-halaman buku Si Bengkok, saya dikejutkan oleh narasi yang disajikan dengan keberanian luar biasa serta konten dewasa yang terpapar secara frontal. Namun, seiring berjalannya waktu dan saat saya terus melanjutkan bacaan hingga halaman terakhir, kesadaran akan pesan yang terpendam dalam karya ini mulai mengalir dengan pelan namun pasti. Di balik keberanian yang mencolok itu, terhampar sebuah refleksi tajam yang menyentuh kehidupan, kemanusiaan, dan hakikat kebebasan yang sejati. 
 
Gagasan penulis mengalir dengan liar dan menantang, menciptakan jembatan yang menghubungkan pembaca dengan pandangan sinis Izawa Shaka—penuh dengan kemarahan dan kejujuran yang mendalam. Siapa gerangan yang berhak menghakimi karakter ini? Dalam pandangan saya, Izawa Shaka tidak pernah ditampilkan sebagai sosok yang lemah, melainkan sebagai seorang pejuang yang berani menantang dunia dan segala ketidakadilan yang membelenggunya. Betapa saya terpesona oleh cara penulis menetapkan sudut pandang ini. Ia berhasil menggambarkan Izawa Shaka bukan sekadar sebagai karakter hampa, melainkan sebagai makhluk hidup yang berdenyut di antara kita. 
 
Melalui Izawa Shaka, pesan-pesan dan kritik yang disampaikan begitu mencolok, menantang setiap pembaca untuk tidak menapik kenyataan yang disuarakannya. Salah satu inti dari novel ini berkenaan dengan penyandang disabilitas. Izawa Shaka menolak untuk dipandang sebagai sosok yang hanya terbatas pada fisiknya; ia adalah individu yang memiliki hasrat, impian, dan pandangan yang kaya. Dengan semangat juang yang membara, ia menolak dibatasi oleh pandangan masyarakat yang mendefinisikannya sebagai “berbeda” atau bahkan “kurang”. Dalam konteks ini, karya ini menggemakan keinginan Izawa Shaka untuk terlibat sepenuhnya dalam kehidupan—baik dalam aspek seksual maupun emosional—yang sering kali terpinggirkan dalam diskusi mengenai penyandang disabilitas. Ia menuntut haknya untuk hidup sepenuhnya. 
 
Lebih jauh, Si Bengkok juga dapat dibaca sebagai satir yang cerdas terhadap norma-norma sosial yang mengatur definisi “kenormalan”. Melalui humor gelap yang menyentuh dan kejujuran yang tajam, Ichikawa Saou menciptakan ruang bagi pembaca untuk merenungkan bagaimana masyarakat sering kali mendiskriminasi dan mengalienasi individu berdasarkan kondisi fisik mereka. Karya ini menegaskan kebutuhan akan lebih banyak narasi yang menggambarkan penyandang disabilitas sebagai individu utuh, bukan sekadar objek empati atau perhatian. 
 
Salah satu aspek yang sungguh menawan perhatian saya dalam Si Bengkok adalah ketika penulis dengan keberanian nan patut dicontoh mengangkat tema yang jarang terjamah: perdebatan antara buku fisik dan buku elektronik. Sebuah tamparan tajam bagi kita, terutama dalam ranah pembahasan mengenai preferensi bacaan. Masyarakat acapkali terperangkap dalam perdebatan sepele mengenai mana yang lebih unggul—buku fisik atau elektronik—seolah nilai sebuah buku hanya terletak pada wujud fisiknya semata. Jarang sekali, bahkan hampir tiada, suara yang menyuarakan pentingnya buku elektronik, khususnya bagi orang-orang yang tak berdaya menikmati keindahan buku fisik secara langsung. Apa yang sebenarnya diperdebatkan? Bukankah esensi dari sebuah buku terletak pada isi cerita dan pengalaman yang dihidangkannya, bukan pada rupa yang menempel? Melalui narasi yang sarat makna, penulis mencermati bagaimana banyak insan yang dalam tanda kutip normal dengan entengnya merendahkan buku elektronik, melontarkan ungkapan klise nan usang seperti “aku suka aroma kertas” atau “aku suka sensasi membalik halaman”. Ungkapan-ungkapan ini, meski tampak romantis, acapkali mencerminkan sikap yang sempit dan mengabaikan kenyataan yang lebih luas. 
 
Lebih jauh, kritik tajam penulis terhadap penerbit juga sangat mencolok. Dalam pandangannya, penerbit sering kali gagal memperhatikan bagaimana buku elektronik diperlakukan dalam proses penerbitan. Ada kesan bahwa mereka masih terfokus pada kebutuhan orang-orang “normal”, sementara buku elektronik, yang memiliki potensi besar untuk memperluas jangkauan dan aksesibilitas, sering kali terabaikan. Ini menciptakan kondisi di mana banyak buku elektronik tidak disiapkan untuk dinikmati dengan nyaman, mengakibatkan banyak pembaca yang terpaksa menghadapi pengalaman membaca yang kurang optimal. Dengan kata lain, penulis menantang kita untuk berpikir lebih dalam tentang cara kita memandang dan menghargai literasi. Dia mengajak pembaca untuk membuka mata terhadap kenyataan bahwa buku, dalam segala bentuknya, memiliki nilai yang sama. Isi cerita yang dihadirkan, pengalaman yang ditawarkan, dan dampak emosional yang ditimbulkan adalah hal-hal yang jauh lebih penting daripada hanya sekadar perdebatan tentang format fisik. 
 
Selanjutnya, saya pun menyempatkan diri untuk merenungi berbagai pengalaman membaca yang dibagikan oleh pembaca-pembaca lain, demi memperoleh sudut pandang yang beraneka ragam dari para pembaca yang telah lebih dahulu menyelami buku ini. Salah satu tulisan yang mencuri perhatian saya adalah karya Svasti yang berjudul Terlalu Lurus untuk Jadi Bengkok: Ketika Penyandang Disabilitas Berani Punya Hasrat. Judul tersebut sungguh menarik dan mencerminkan kedalaman tema yang diangkat. Bagi yang tergerak rasa ingin tahunya, tulisan itu dapat diakses melalui tautan ini: https://svvasti.medium.com/terlalu-lurus-untuk-jadi-bengkok-ketika-penyandang-disabilitas-berani-punya-hasrat-1c74cb2a66e7. Saya sangat menikmati tulisan tersebut, karena penulis dengan piawai mengupas hampir seluruh aspek dari Si Bengkok; mulai dari kisah Asaka Yuuho, seorang aktivis hak-hak penyandang disabilitas asal Jepang yang berpidato dengan penuh keberanian dalam Konferensi Internasional PBB, hingga peraturan-peraturan mengenai UU Disabilitas di Jepang serta nuansa-nuansa lain yang menggugah pikiran. Saya berharap para pembaca yang terhormat dapat meluangkan waktu untuk menyelami tulisan tersebut. 
 
Satu hal lain yang juga mencuri perhatian saya adalah bagian akhir dari cerita ini. Seakan penulis ingin memberikan kesempatan yang berharga kepada para pembaca untuk merenungkan dan menginterpretasikan apa yang sebenarnya terjadi, sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Di sana, di ambang penutupan, terdapat ruang yang terbuka lebar untuk spekulasi dan refleksi di mana penulis dengan cerdik menantang kita untuk tidak sekadar menerima hasil akhir, melainkan untuk terlibat aktif dalam proses pencarian makna yang lebih dalam. Dalam keheningan itu, setiap pembaca dapat menyusun kisah ini dari kepingan-kepingan emosi pribadi mereka, menciptakan tafsiran yang beragam dan penuh warna. 
 
Tak lupa pula, saya ingin membahas aspek penting lainnya: penerjemahan karya ini. Si Bengkok, yang dalam bahasa aslinya bertajuk Hunchback, telah diolah dengan penuh keahlian ke dalam bahasa Indonesia oleh Dewi Anggraeni. Ketika menyelami lembaran-lembaran buku ini, saya merasakan betapa cermat dan peka pemilihan kata yang digunakan oleh Dewi Anggraeni, hingga penyusunan kalimatnya pun menyisakan bekas mendalam dalam jiwa saya. Ia berhasil menghidupkan sosok Izawa Shaka dengan demikian kuat, memungkinkan saya merasakan kepedihan dan kemarahan yang membara dalam diri sang tokoh, terhadap dunia dan masyarakat yang mengekangnya. Dalam karya berbahasa Indonesia ini, Dewi Anggraeni berhasil menyampaikan dengan tepat cerita yang ingin diungkapkan oleh Ichikawa Saou, merajut setiap kata dengan ketelitian yang patut diapresiasi. 
 
Begitulah, saya benar-benar menikmati perjalanan membaca Si Bengkok karya Ichikawa Saou ini. Dalam keterbatasan jumlah halaman yang tampaknya tipis, tersimpan berbagai pelajaran berharga yang bisa saya ambil. Buku ini, meskipun kecil, penuh dengan pemikiran dan nuansa yang menggugah kesadaran. Dengan tulus, saya sangat menyarankan kepada para pembaca untuk mengarungi lautan pemikiran dalam buku ini. Namun, izinkan saya memberi peringatan, kepada siapa pun yang berminat untuk membaca, agar terlebih dahulu memastikan kedewasaan diri, sebab buku ini mengandung konten dewasa yang cukup banyak, disertai dengan humor gelap yang kadang kala menyengat.

Expand filter menu Content Warnings
Memori sang Primadona by Evelyn Faniya

Go to review page

dark emotional mysterious sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? No
  • Loveable characters? No
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? Yes

2.0

Di tengah sorotan gemerlap yang terus mengelilinginya, sang primadona yang telah lama dipuja-puji seantero negeri mendapati dirinya terperangkap dalam mimpi yang mencekam dan penuh teka-teki. Dalam setiap malam yang berlalu, ia diburu oleh gambaran kelam di mana ia sendiri, dengan tangan terbungkus dalam kegelapan, mencekik dan membunuh sosoknya sendiri. Awalnya, ia mengira mimpi-mimpi tersebut hanyalah cerminan dari trauma paska-kecelakaan yang baru-baru ini menimpa dirinya. Namun, semakin sering ia terjaga dalam kepanikan, semakin nyata mimpi-mimpi itu terasa, seolah-olah menyelam ke dalam kedalaman ingatan yang samar. Meski begitu, ia tidak pernah benar-benar mengingat peristiwa tersebut. 
 
Apa yang sebenarnya tersembunyi di balik mimpi-mimpi mencekam ini? 
 
 
 
Memori sang Primadona karya Evelyn Faniya menawarkan premis yang menjanjikan, namun eksekusi naratif dalam buku ini belum mampu memenuhi harapan saya secara penuh. Premis yang diusung, yang menjanjikan kisah penuh intrik dan emosi, sepertinya menawarkan potensi besar untuk menjadi sebuah karya yang mendalam dan memikat. Namun, meskipun ide dasar cerita memiliki daya tarik, pelaksanaan yang kurang terstruktur dan narasi yang agak berantakan membuat pengalaman membaca terasa kurang memuaskan. 
 
Dalam hal narasi, Memori sang Primadona menunjukkan kelemahan signifikan. Alur cerita terasa tidak konsisten dan sering kali disajikan dengan cara yang membingungkan. Perubahan mendadak dalam plot dan pengembangan karakter terkadang terasa tiba-tiba dan tidak terhubung dengan mulus, meninggalkan bolong-bolong yang signifikan dalam alur cerita. Ketiadaan transisi yang jelas antara berbagai bagian cerita menyebabkan pembaca sulit untuk mengikuti perkembangan yang sedang terjadi, dan menciptakan rasa frustrasi ketika harus mengisi kekosongan informasi yang tidak dijelaskan dengan memadai. Struktur naratif yang tidak teratur ini membuat pembaca merasa terputus dari inti cerita dan mengurangi keterlibatan emosional mereka. 
 
Pembangunan plot dalam Memori sang Primadona terasa terburu-buru dan tidak memadai. Penulis tampak berusaha untuk mencakup terlalu banyak elemen dalam ruang lingkup cerita yang sempit, tanpa memberikan ruang yang cukup untuk mengembangkan cerita dengan cara yang memadai. Proses pengembangan yang tergesa-gesa ini menyebabkan alur cerita yang terkesan terputus-putus dan tidak terjalin dengan baik. Pembaca dibiarkan dengan sejumlah pertanyaan yang tidak terjawab dan ketidakpuasan terhadap bagaimana berbagai elemen cerita disatukan. Kurangnya kedalaman dalam pembangunan plot ini mengurangi keefektifan keseluruhan cerita, dan menghilangkan potensi yang bisa dicapai jika cerita dikembangkan dengan lebih hati-hati. 
 
Penokohan dalam buku ini juga menjadi area yang cukup mengecewakan. Karakter-karakter dalam Memori sang Primadona tampak kurang berkembang dan tidak memiliki kedalaman yang memadai. Masing-masing karakter seolah-olah bergerak tanpa arah yang jelas, tanpa motivasi atau pendirian yang konsisten. Beberapa tokoh muncul di satu bagian cerita hanya untuk menghilang tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai peran atau kontribusi mereka terhadap alur utama. Hal ini menciptakan kesan bahwa karakter-karakter tersebut hanya berfungsi sebagai pelengkap alur, tanpa memberikan dampak yang signifikan pada keseluruhan cerita. Kelemahan dalam penokohan ini membuat pembaca sulit untuk merasakan keterhubungan atau empati terhadap tokoh-tokoh yang ada, mengurangi dampak emosional yang seharusnya bisa dihasilkan oleh cerita. 
 
Akhir cerita dalam buku ini merupakan bagian yang paling mengecewakan. Lonjakan waktu yang tiba-tiba dan drastis tanpa adanya penjelasan yang memadai sebelumnya menciptakan kesan bahwa resolusi cerita terlalu dipaksakan. Penulis seolah-olah melewatkan kesempatan untuk memberikan penutup yang memuaskan dan koheren, meninggalkan pembaca dengan rasa ketidakpastian dan kebingungan mengenai bagaimana semua elemen cerita seharusnya berakhir. 
 
Secara keseluruhan, meskipun Memori sang Primadona karya Evelyn Faniya memiliki premis yang menarik dan tema yang berpotensi mendalam, pelaksanaan naratif dalam buku ini tidak berhasil memenuhi ekspektasi saya. Kekurangan dalam struktur narasi, pengembangan karakter, dan pembangunan plot membuat buku ini terasa kurang memuaskan dalam keseluruhan pengalaman membaca. Namun, selera membaca adalah hal yang sangat pribadi, dan mungkin ada pembaca lain yang menemukan keindahan dan daya tarik dalam buku ini sesuai dengan pandangan dan preferensi mereka sendiri. Saya mendorong Anda untuk membacanya sendiri dan menemukan apakah buku ini menyentuh dan memikat Anda dengan cara yang unik. 

Expand filter menu Content Warnings
Penebusan by Misha F. Ruli

Go to review page

dark emotional mysterious sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? Yes

3.0

Penebusan karya Misha F. Ruli menawarkan sebuah pengalaman naratif yang membedakan dirinya melalui gaya penceritaan yang segar, mengingatkan saya pada salah satu karya dari penulis Jepang yang terkenal dengan struktur naratif bergantian. Dalam buku ini, Misha F. Ruli mengarungi perairan kompleks dengan menyuguhkan berbagai sudut pandang karakter yang berbeda, masing-masing memberikan nuansa dan perspektif terhadap inti cerita. 
 
Cerita dalam Penebusan terjalin dalam suasana yang kelam dan penuh emosi, mengangkat tema-tema berat yang berpusat pada penyesalan dan dampak dari belenggu trauma masa lalu. Penulis mengeksplorasi bagaimana penyesalan yang tidak diungkapkan bisa membusuk dari dalam, merusak jiwa dan membentuk tindakan. Alur utama berfokus pada dua karakter sentral—Widy dan Gian—yang masing-masing berjuang melawan bayang-bayang masa lalu mereka. Konflik yang mereka hadapi tidak hanya mencerminkan intensitas emosional, tetapi juga menggali ke dalam moralitas dan keadilan yang sering kali lebih kompleks daripada hukum itu sendiri. 
 
Meskipun Penebusan menawarkan gambaran yang mendalam dan mengesankan mengenai dampak trauma dan penyesalan, terdapat beberapa kelemahan yang mencuat dalam narasinya. Penulisan kadang kala terasa kurang teratur, dengan celah-celah yang dapat mengaburkan alur cerita dan membuat pembaca merasa tersesat di tengah perjalanan naratif. Beberapa bagian dalam buku ini tampak dipaksakan, seperti kepingan teka-teki yang tidak sepenuhnya pas dalam tempatnya. Penempatan elemen-elemen tertentu dalam cerita terasa seperti usaha untuk memasukkan berbagai aspek tanpa pertimbangan yang mendalam, sehingga mengurangi kealamian dan keterhubungan alur cerita. Hal ini menyebabkan beberapa momen dalam cerita terasa kurang organik dan terasa terputus dari keseluruhan narasi. Selain itu, beberapa karakter pendukung tampaknya tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan cerita. Mereka hadir sebagai ornamen yang tidak cukup berperan dalam menyempurnakan jalinan alur atau menambah kedalaman cerita. Peran mereka terasa tidak memberikan angin hembusan yang berarti dalam membangun atau memajukan plot. 
 
Secara keseluruhan, meskipun Penebusan karya Misha F. Ruli menawarkan tema yang mendalam dan emosional, beberapa kekurangan dalam penulisannya sedikit menghalangi potensi ceritanya. Namun, bagi mereka yang mencari eksplorasi mendalam tentang penyesalan dan dampak trauma masa lalu, buku ini tetap dapat menjadi sebuah pilihan.

Expand filter menu Content Warnings
Pasien by Naomi Midori

Go to review page

adventurous challenging dark emotional mysterious sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? No
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? Yes

3.0

Pagi itu, berita mengejutkan mencuat di halaman koran, mengisahkan tragedi yang mengguncang. Enam anggota keluarga pemilik sebuah toko bangunan ditemukan tewas mengenaskan di kediaman mereka. Polisi menduga perebutan harta warisan menjadi bara yang membakar persaudaraan, menyebabkan mereka saling menghabisi. Namun, di balik skenario yang tampak masuk akal, terselip kejanggalan yang belum terungkap.

Apa sebenarnya yang terjadi pada hari nahas itu?


 
Pasien, sebuah karya dari Naomi Midori, telah lama menarik perhatian saya. Meski hanya setebal sekitar 100 halaman, buku ini digadang-gadang mampu menyisakan rasa tak nyaman yang menggantung di benak pembaca hingga lembar terakhir. Dorongan rasa ingin tahu akhirnya membuat saya memutuskan untuk menyelami dunia kecil ini, yang ternyata menyimpan lebih banyak dari sekadar lembaran kata-kata sederhana. 
 
Bahasa yang digunakan Naomi Midori mengalir dengan kesederhanaan yang hampir menipu. Tak ada metafora yang berlebihan atau permainan kata yang mencolok, namun justru itulah yang membuat narasinya terasa begitu dekat, bahkan mengusik. Di setiap kalimatnya, ada sesuatu yang samar. Alurnya dirajut perlahan, tak tergesa-gesa, seolah membiarkan kita merasakan setiap detak ketegangan yang meningkat dengan sabar. Hal inilah yang membuat rasa penasaran saya terus terjaga, meski pada saat yang sama, saya merasakan ada sesuatu yang menunggu untuk diungkap. 
 
Namun, di tengah keindahan sederhana itu, saya tak bisa mengabaikan kekosongan-kekosongan yang terasa mengganjal. Ada celah di antara karakter dan plot yang seolah menunggu untuk lebih digali. Beberapa momen dalam cerita tampak seperti benang yang tidak teranyam dengan sempurna, meninggalkan ruang hampa yang tak sepenuhnya terisi. Kendati demikian, Naomi Midori dengan cerdas menutupnya dengan akhir yang tak terduga, sebuah kejutan yang merombak harapan saya sebagai pembaca. Akhir ini tiba-tiba menghancurkan segala dugaan yang sudah terbangun di kepala, dan meskipun saya masih mendambakan kedalaman lebih, saya tak bisa menyangkal bahwa cerita ini berhasil meninggalkan jejak yang sulit dihapus. 
 
Hal yang paling memikat, saya merasa Naomi Midori bermain dengan konsep tujuh dosa mematikan manusia: nafsu, kerakusan, keserakahan, kemalasan, kemarahan, iri hati, dan kesombongan. Melalui para karakternya, kita disodorkan refleksi yang tajam tentang keburukan-keburukan yang bisa bersembunyi di balik wajah manusia. Dalam kesederhanaan kisah ini, ada cermin yang memperlihatkan sisi-sisi gelap yang kita mungkin enggan akui, namun tak bisa kita abaikan. Pada akhirnya, Pasien milik Naomi Midori adalah karya yang, meskipun kecil dan sederhana, memiliki daya tarik tersendiri. Bagi mereka yang mencari bacaan ringan dengan kompleksitas yang terpendam, buku ini adalah pilihan tepat. 

Expand filter menu Content Warnings
Kimchi Confessions by Xaviera Putri

Go to review page

emotional funny informative inspiring reflective relaxing sad fast-paced

4.0

Ketika pertama kali mendengar tentang Kimchi Confessions karya Xaviera Putri, ketertarikan saya langsung muncul, didorong oleh rasa penasaran yang mendalam terhadap kisah yang diangkat. Beruntungnya, saya mendapatkan kesempatan untuk membacanya, dan pengalaman tersebut tidak mengecewakan. Buku ini mengajak pembaca menyelami perjalanan hidup Xaviera, seorang pelajar yang berhasil menembus salah satu sekolah terbaik di Korea Selatan, Korea Science Academy of KAIST, melalui jalur beasiswa. Bagi saya, topik pendidikan dan perjuangan untuk menimba ilmu di negeri asing selalu punya daya tarik tersendiri, terutama di sekolah berbasis sains dan teknologi yang dikenal dengan persaingannya yang ketat. 
 
Selain daya tarik dari topik yang diangkat, saya juga langsung terpukau dengan ilustrasi sampul yang memancarkan keindahan. Desainnya begitu lembut namun sarat makna, seolah mengundang pembaca untuk menyelami lebih dalam kisah yang dihidangkan. Kesan ini semakin istimewa ketika saya mengetahui bahwa sampul tersebut dikerjakan oleh Biadonut, yang ternyata adalah kakak dari Xaviera Putri sendiri. Kolaborasi ini menambah dimensi personal pada buku, memperkuat hubungan antara cerita dan visual. Bahkan sebelum membuka halaman pertama, sampulnya sudah berhasil menyampaikan pesan mendalam, membuat saya merasa bahwa saya akan dibawa ke dalam perjalanan yang tak hanya inspiratif, tetapi juga penuh kehangatan dan emosi yang tulus. 
 
Saat memulai buku ini, saya tidak menemukan kesulitan untuk langsung tenggelam dalam narasinya. Gaya penulisan Xaviera sangatlah mengalir, ringan, dan terasa seperti mendengarkan teman yang sedang berbagi cerita tentang perjuangan pribadinya. Dengan nuansa santai, Xaviera berhasil menyampaikan perjalanan hidupnya yang penuh tantangan. Dari sini, saya semakin menyadari betapa luar biasa usaha yang ia tempuh untuk bisa menempuh pendidikan di sekolah bergengsi tersebut, terlebih melalui jalur beasiswa yang tidak mudah diraih. 
 
Perjalanan Xaviera tentu tidak sepenuhnya ia tempuh seorang diri, melainkan didukung oleh keluarga yang senantiasa memberikan dorongan moral dan emosional yang begitu hangat. Salah satu momen paling mengharukan dalam buku ini adalah ketika orang tuanya menekankan bahwa pendidikan merupakan warisan paling berharga yang bisa mereka berikan kepada anak-anak mereka. Pesan ini bukan hanya menyentuh, tetapi juga menggambarkan betapa besar peran keluarga sebagai salah satu pondasi yang membentuk kesuksesan Xaviera. 
 
Salah satu daya tarik utama buku ini adalah kemampuan Xaviera untuk membawa pembaca menyelami dunia pendidikan di Korea, dengan fokus khusus pada Korea Science Academy of KAIST. Melalui narasi yang penuh warna, kita diajak mengintip sekilas tentang struktur ketat yang mengatur waktu belajar, istirahat, dan kegiatan lainnya. Meski terkesan sangat disiplin dan penuh aturan, sistem ini justru memperlihatkan bagaimana pendekatan ini membentuk karakter siswa yang tidak hanya tangguh dan bertanggung jawab, tetapi juga mempersiapkan mereka untuk menghadapi berbagai tantangan di masa depan dengan kesiapan dan ketahanan yang luar biasa. Bagi saya, wawasan ini sangat berharga, terutama bagi pembaca yang ingin merasakan bagaimana kehidupan sekolah di Korea yang terkenal dengan sistem pendidikannya yang keras. Xaviera berhasil menyampaikan realitas ini dengan baik tanpa terkesan menggurui, sehingga tetap menyenangkan untuk diikuti. 
 
Meskipun saya sangat menikmati isi buku ini, terdapat beberapa aspek teknis yang bisa diperbaiki untuk meningkatkan kualitasnya. Pertama, ukuran fon dan spasi yang digunakan terasa agak besar, sehingga tampilan halaman menjadi kurang rapi dan sedikit mengganggu kenyamanan membaca. Selain itu, tata letak dan penggunaan bahasa di beberapa bagian tampak tidak konsisten. Hal ini terkadang menghambat kelancaran membaca dan membuat beberapa bagian terasa kurang harmonis. Saya juga mengalami sedikit kebingungan dengan beberapa kalimat, misalnya di halaman 117, terdapat tulisan “D, sementara aku ke cafetaria,” yang terasa agak membingungkan dan mungkin merupakan kesalahan penulisan atau penggunaan frasa yang kurang jelas. Hal ini sedikit menyulitkan pemahaman saya terhadap teks tersebut. 
 
Namun, perlu dicatat bahwa kekurangan ini bersifat teknis dan tidak mengurangi kekuatan serta esensi cerita yang disampaikan oleh penulis. Dengan revisi dan penyuntingan yang lebih cermat, saya yakin buku ini bisa menjadi lebih sempurna, baik dari segi tampilan maupun bahasa. Perbaikan ini akan semakin menonjolkan kualitas naratif yang memikat dan membuat pengalaman membaca menjadi lebih menyenangkan. 
 
Secara keseluruhan, Kimchi Confessions karya Xaviera Putri adalah buku yang menyenangkan untuk dibaca dalam satu kali duduk. Xaviera Putri mampu menghadirkan kisah yang inspiratif, terutama bagi mereka yang bermimpi merantau dan menimba ilmu di negeri orang. Buku ini memberikan motivasi dan keyakinan bahwa dengan kerja keras, mimpi sebesar apa pun dapat tercapai. Saya sangat merekomendasikan buku ini bagi siapa pun yang ingin mencari inspirasi atau sekadar menikmati cerita tentang perjalanan meraih mimpi. Selain itu, buku ini juga mengingatkan kita bahwa tidak ada batasan dalam belajar, dan pendidikan adalah investasi terbaik yang dapat kita berikan untuk masa depan kita. 
Things Left Behind: Hal-hal yang Kita Pelajari dari Mereka yang Telah Tiada by Jeon Ae Won, Kim Sae-byoul

Go to review page

dark emotional informative inspiring reflective sad

4.0

Bayangkan jika suatu hari kamu diberi tugas untuk menyusuri jejak hidup seseorang yang telah tiada, hanya melalui barang-barang yang mereka tinggalkan. Apakah kamu bertanya-tanya, apa yang tersimpan di balik kematian seseorang? Apa yang terjadi pada mereka setelah hidup ini berakhir? Dan bagaimana dengan mereka yang ditinggalkan—haruskah hidup mereka selamanya terperangkap dalam duka, atau mungkin saja ada yang mampu menemukan kedamaian di tengah kehilangan? 
 
Dalam buku Things Left Behind: Hal-hal yang Kita Pelajari dari Mereka yang Telah Tiada karya Kim Sae-byoul dan Jeon Ae-won, yang saya baca dalam terjemahan bahasa Indonesia oleh Anna Lee, kita diajak untuk memasuki dunia para ‘pengurus jejak terakhir’. Mereka adalah individu yang menawarkan bantuan untuk merapikan barang-barang peninggalan orang-orang yang telah meninggal, entah karena usia, pembunuhan, atau bunuh diri. Buku ini mengungkapkan kisah nyata di balik setiap ruangan dan benda yang mereka sentuh, menawarkan pandangan mendalam tentang kehidupan dan kematian yang jarang kita pertimbangkan. 
 
Setiap kisah dalam buku ini menghadirkan cerita yang menggugah dan kadang membuat kita tersentak. Momen-momen yang mengharukan seperti kesepian sebagai satu-satunya teman hingga akhir hayat seseorang, dan momen mengecewakan seperti motivasi untuk menguasai harta warisan yang ditinggalkan, menggambarkan realitas yang kadang kompleks dan mengecewakan. Buku ini mengajak kita merenungi berbagai aspek kehidupan dan kematian, serta menyadarkan kita akan hal-hal yang sering dianggap sepele seperti hubungan keluarga, cinta, dan kehadiran. Melalui pengalaman pribadi para penulis, kita diberikan wawasan mendalam tentang realitas kehidupan yang mungkin tak pernah kita bayangkan sebelumnya. 
 
Buku Things Left Behind: Hal-hal yang Kita Pelajari dari Mereka yang Telah Tiada karya Kim Sae-byoul dan Jeon Ae-won memaksa kita untuk merenungi kematian sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan, dan bagaimana kita menghadapi serta menghargai hidup dan hubungan yang kita miliki. Pada akhirnya, kematian adalah teman terdekat yang tak bisa dihindari, dan memahami hal ini dapat memberi kita perspektif baru tentang cara menjalani hidup. Buku ini juga memperkenalkan kita lebih dekat dengan profesi yang sering dipandang sebelah mata—pekerjaan membantu merapikan barang-barang peninggalan orang yang telah tiada. Meski kerap dikucilkan, profesi ini sangat membantu dan berperan penting dalam memberi penghormatan terakhir bagi mereka yang sudah pergi.

Expand filter menu Content Warnings
Animal Farm by George Orwell

Go to review page

adventurous challenging dark emotional funny mysterious reflective sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

5.0

With blazing fervor and a heart pounding with anticipation, the moment has finally come for me to tear through the pages of George Orwell’s Animal Farm, a masterpiece long buried on my reading list. This fable, featuring animals who speak and act with human-like audacity, reflects us—arrogant, self-important humans—in ways that are disturbingly familiar. From the very first page, George Orwell’s brilliance in constructing a seemingly cheerful world that conceals a dark battleground of power and morality gripped me. It is clear that a storm of epic proportions is brewing beneath the surface of this story. 
 
The story erupts with a prologue charged with tension and fiery anticipation. Old Major, a distinguished and wise 12-year-old Middle White Boar, gathers all the animals in a clandestine meeting pulsing with revolutionary energy. With a voice brimming with conviction, he lays out his vision of a future where animals are freed from the shackles of human tyranny. He names their greatest adversary: humans—parasites who exploit their labor and offer only meager scraps in return. Old Major’s speech isn’t merely a rallying cry; it is a blazing inferno that ignites the hearts of those who have long suffered. 
 
Yet, shortly after his incendiary speech, old Major passes away, leaving behind a legacy of dreams and an unquenchable spirit of rebellion. In a matter of days, his prophecy takes shape as the animals, inspired by the words of their esteemed leader, rise up to overthrow the cruel Mr. Jones and take control of their own fate. Initially, they are swept up in a wave of euphoria—convinced that this new era will bring justice and equality. However, as time marches on, it becomes increasingly apparent that the justice they sought is far more elusive and fraught with complexity than they ever imagined. 
 
Through each page of this book, we are confronted with a heartbreaking portrayal of how easily power can be corrupted, even by those with initially noble and sincere intentions. The spirit of freedom and equality, once built on pure hope, gradually drowns in a sea of selfishness and personal ambition. We watch with growing dismay as lofty ideals, once ablaze with hope and fervor, are slowly eroded by self-interest, ambition, and fear. 
 
In this tale, as power consolidates in the hands of a few leaders, the principles once held high begin to crumble. The enticing rules and promises of the early days are gradually violated, morphing with the shifting interests and needs of those in charge. These leaders often hurriedly ‘reconfigure’ the rules—not for the welfare of the people or the common good, but to serve their own interests and to perpetuate the power and dynasty they’ve constructed. With every step deeper into the book, it becomes ever clearer that this story is not merely a fable but a mirror reflecting the reality we frequently see in contemporary news. It is as if each page reveals the lies and corruption that seep into a system meant to protect and uphold justice. 
 
As we dig deeper into this narrative, it becomes strikingly clear that the new leaders, who were meant to bring about a wave of genuine reform, have instead embraced tactics of manipulation and propaganda to consolidate their power. In this arena, propaganda and manipulation are wielded as potent weapons to dominate and distort public perception. By twisting and falsifying information, they craft a narrative that their policies and decisions are in the best interest of all. In this process, the ability to think critically and objectively is often sacrificed. 
 
The scenarios portrayed in this book resonate profoundly with our modern reality, where the term ‘buzzer’ has become synonymous with political maneuvering—an indication that dirty politics has evolved into more sophisticated and deceptive forms. Buzzers, adept in the art of deceit, are hired to shape, manipulate, or obscure issues on social media with a singular goal: to obfuscate the truth and manipulate public opinion. 
 
In this web of political trickery, buzzers are the architects of misinformation, expertly weaving narratives to fragment society and sway public views. They transform social media into a stage for their performances, manipulating data and creating captivating yet deceptive illusions. As we navigate this intricate drama, it is essential to sharpen our analytical skills and rigorously verify the information we encounter. Only through this vigilance can we protect ourselves from the manipulative traps designed to cloud our judgment and divide us into easily controlled factions. 
 
In the end, George Orwell’s Animal Farm serves as a razor-sharp mirror, exposing the ease with which those in power can spiral into cycles of greed and betrayal. As I delved into this masterpiece, I couldn’t help but question: how can leaders, who once championed noble visions, comfortably sleep and dine while flagrantly betraying the very principles and morals they claimed to uphold? Or perhaps, they were never truly moral to begin with, their veneer of virtue simply a façade that deceived us all? 
 
George Orwell astutely illustrates how these corrupt leaders hide behind a veneer of charm and deceit, ensnaring us in a labyrinth of illusion. In Animal Farm, oppression often wears a disguise. It can emerge from those who are meant to be our guardians and guides. This serves as a stark reminder that ignoring injustice is tantamount to complicity in the crime. I urge everyone to read this book and absorb its profound message. In a world fraught with deception, awareness and the courage to seek out truth are our most powerful defenses. We must stay alert and discerning to avoid falling into the treacherous traps that undermine the very essence of justice.

Expand filter menu Content Warnings
The Bullet That Missed by Richard Osman

Go to review page

adventurous challenging dark emotional funny mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? No

4.0

“The Bullet That Missed”, the third book in Richard Osman’s Thursday Murder Club series, pulls readers back into a world of clever twists, sharp humor, and heartwarming friendship. As a big fan of the series, I’m super excited to jump into this new adventure with my favorite retired friends. Richard Osman doesn’t disappoint, blending his trademark wit with a plot that’s as twisty as ever, keeping you on the edge of your seat. 
 
The story kicks off with a gripping start. This time, the Thursday Murder Club is diving into a cold case that’s been off the radar for ten years. It’s all about the death of a TV journalist whose car was found near a cliff, but the body never turned up. As the gang starts digging into the case, they face a tantalizing question: was this really a suicide, or could it be a murder with no clues left behind? The stakes get even higher when they’re threatened by a new adversary known as the ‘Viking’, who gives Elizabeth an ultimatum—kill former KGB chief Viktor Illyich or watch him kill Elizabeth’s friend Joyce. With danger coming from all sides, the Thursday Murder Club has to race against the clock to uncover the truth while keeping themselves safe. 
 
One of the coolest things about this book is how Richard Osman effortlessly juggles two main storylines without losing the plot. Even with multiple issues at play, the narrative stays smooth and engaging. Richard Osman’s knack for introducing fresh surprises and unexpected twists makes each page feel exciting. Readers will be drawn into a smart, well-crafted story while still enjoying the series’ trademark humor. 
 
Richard Osman also uses this book to dive into some deeper, thought-provoking themes. One standout moment is when Viktor Illyich has a life-changing realization about himself. Despite his wealth and achievements, Viktor sees that he’s missing genuine emotional connections. As he faces his own mortality, he understands that he lacks close friends who truly care. This moment offers a stark contrast to the tight-knit bond of the Thursday Murder Club. Even in their later years, their friendships and family ties remain strong and sincere. They find joy and comfort in their retirement community, sharing their lives and experiences with one another. Richard Osman cleverly uses Viktor’s epiphany to highlight that real human connections and true friendship are worth far more than material success. This theme drives home the idea that the relationships we build and the impact we make on others are what really give life its meaning. 
 
Overall, “The Bullet That Missed” is a thrilling read that not only delivers on the mystery front but also adds depth with its emotional and reflective themes. While “The Man Who Died Twice”, the second book in the series, is still my top pick, this third installment is incredibly satisfying and deepens my admiration for the Thursday Murder Club series. 

Expand filter menu Content Warnings
The Red Palace by June Hur

Go to review page

adventurous challenging dark emotional mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? No

5.0

June Hur’s The Red Palace delivers an exceptionally refreshing reading experience, especially for those like me who are stepping into the world of mysteries set against the backdrop of 18th-century Korea for the first time. June Hur masterfully creates a world that is not only authentic but mesmerizing, pulling readers into its rich, immersive atmosphere. With a complex historical setting, I found myself effortlessly drawn into the book, fully engaging with the social and political intricacies of the era.  

The brilliance of The Red Palace lies in its seamless fusion of various narrative elements—mystery, family, friendship, self-discovery, and romance—into a single, enthralling storyline. This book not only serves up a gripping mystery with intricate puzzles but also explores deep character relationships, highlighting strong family ties and the significance of true friendship. Each of these components is woven together with finesse, creating a reading experience that is both comprehensive and emotionally resonant. 

One of the standout themes in The Red Palace is courage and the quest for truth, vividly depicted through the journey of the main character, Baek-hyeon. In the face of the restrictive Joseon society, Baek-hyeon demonstrates that women have the power to shatter societal constraints and chase their dreams, no matter how formidable the obstacles may seem. As a palace nurse from a background deemed illegitimate, Baek-hyeon perfectly embodies the triumph over adversity through dedication and skill. Her story serves as a compelling testament to the resilience and determination needed to achieve greatness.

June Hur skillfully explores the theme of women’s aspirations in a challenging environment. Through the character of Hyeon, the book delivers a powerful message that women’s dreams are not only valid but also achievable with bravery and persistent effort. Baek-hyeon emerges as an inspiring figure for all women striving to realize their goals, demonstrating that with perseverance and confidence, societal limitations can be overcome. 

The romance in The Red Palace is crafted with grace and meticulous attention to detail. Though it develops gradually, the romantic relationship between
Baek-hyeon and Seo Eojin
becomes a central and captivating aspect of the story. Their interactions unfold naturally and authentically, creating a warm and profound connection. The tenderness and understanding in their relationship add a rich emotional layer to the narrative, enhancing the story with a sweet touch that complements rather than overshadows the central mystery and primary conflicts. 

As one of my favorite reads this year, The Red Palace by June Hur offers far more than just a captivating mystery; it provides a deep exploration of the strength and determination of women in the face of life’s challenges. I am thrilled to have read this book and highly recommend it to anyone seeking a unique and unforgettable reading journey. 

Expand filter menu Content Warnings