Aku benci kesombongan nan abai para “pencinta buku” yang tidak sadar akan privilese mereka. Kepalaku yang berat terasa sakit karena nyaris tidak tertopang oleh leherku yang bengkok, pinggangku yang menekuk dan melulu menghancurkan organ dalamku, membuatku selalu kalah dalam lomba tarik tambang dengan gravitasi bumi karena postur tubuhku condong ke depan. Setiap kali membaca buku kertas, aku merasa tulang belakangku sedikit demi sedikit melengkung.
Si Bengkok karya Ichikawa Saou adalah sebuah karya yang telah berhasil memikat jiwa saya sejak pertama kali diumumkan akan hadir dalam bahasa Indonesia. Meskipun terkurung dalam kurang dari seratus halaman, narasi yang padat dan berani ini mengisahkan seorang perempuan bernama Izawa Shaka, yang tulang belakangnya melengkung serupa huruf S. Kondisi ini memaksanya untuk menempuh kehidupan yang terasing di dalam tembok megah Group Home milik keluarganya, sebuah tempat yang disediakan bagi individu berkebutuhan khusus—termasuk dirinya sendiri. Dalam belenggu yang mengekang ini, Izawa Shaka berjuang melawan norma-norma sosial yang selama ini dianggap tabu; ia menulis cerita-cerita stensil dewasa, mencurahkan perasaan terdalamnya di media sosial yang dipandang menyimpang, seraya mempertanyakan makna “kenormalan” yang bagi banyak insan tampak bagai suatu puncak yang tak mungkin ia raih.
Ketika pertama kali saya menyelami halaman-halaman buku Si Bengkok, saya dikejutkan oleh narasi yang disajikan dengan keberanian luar biasa serta konten dewasa yang terpapar secara frontal. Namun, seiring berjalannya waktu dan saat saya terus melanjutkan bacaan hingga halaman terakhir, kesadaran akan pesan yang terpendam dalam karya ini mulai mengalir dengan pelan namun pasti. Di balik keberanian yang mencolok itu, terhampar sebuah refleksi tajam yang menyentuh kehidupan, kemanusiaan, dan hakikat kebebasan yang sejati.
Gagasan penulis mengalir dengan liar dan menantang, menciptakan jembatan yang menghubungkan pembaca dengan pandangan sinis Izawa Shaka—penuh dengan kemarahan dan kejujuran yang mendalam. Siapa gerangan yang berhak menghakimi karakter ini? Dalam pandangan saya, Izawa Shaka tidak pernah ditampilkan sebagai sosok yang lemah, melainkan sebagai seorang pejuang yang berani menantang dunia dan segala ketidakadilan yang membelenggunya. Betapa saya terpesona oleh cara penulis menetapkan sudut pandang ini. Ia berhasil menggambarkan Izawa Shaka bukan sekadar sebagai karakter hampa, melainkan sebagai makhluk hidup yang berdenyut di antara kita.
Melalui Izawa Shaka, pesan-pesan dan kritik yang disampaikan begitu mencolok, menantang setiap pembaca untuk tidak menapik kenyataan yang disuarakannya. Salah satu inti dari novel ini berkenaan dengan penyandang disabilitas. Izawa Shaka menolak untuk dipandang sebagai sosok yang hanya terbatas pada fisiknya; ia adalah individu yang memiliki hasrat, impian, dan pandangan yang kaya. Dengan semangat juang yang membara, ia menolak dibatasi oleh pandangan masyarakat yang mendefinisikannya sebagai “berbeda” atau bahkan “kurang”. Dalam konteks ini, karya ini menggemakan keinginan Izawa Shaka untuk terlibat sepenuhnya dalam kehidupan—baik dalam aspek seksual maupun emosional—yang sering kali terpinggirkan dalam diskusi mengenai penyandang disabilitas. Ia menuntut haknya untuk hidup sepenuhnya.
Lebih jauh, Si Bengkok juga dapat dibaca sebagai satir yang cerdas terhadap norma-norma sosial yang mengatur definisi “kenormalan”. Melalui humor gelap yang menyentuh dan kejujuran yang tajam, Ichikawa Saou menciptakan ruang bagi pembaca untuk merenungkan bagaimana masyarakat sering kali mendiskriminasi dan mengalienasi individu berdasarkan kondisi fisik mereka. Karya ini menegaskan kebutuhan akan lebih banyak narasi yang menggambarkan penyandang disabilitas sebagai individu utuh, bukan sekadar objek empati atau perhatian.
Salah satu aspek yang sungguh menawan perhatian saya dalam Si Bengkok adalah ketika penulis dengan keberanian nan patut dicontoh mengangkat tema yang jarang terjamah: perdebatan antara buku fisik dan buku elektronik. Sebuah tamparan tajam bagi kita, terutama dalam ranah pembahasan mengenai preferensi bacaan. Masyarakat acapkali terperangkap dalam perdebatan sepele mengenai mana yang lebih unggul—buku fisik atau elektronik—seolah nilai sebuah buku hanya terletak pada wujud fisiknya semata. Jarang sekali, bahkan hampir tiada, suara yang menyuarakan pentingnya buku elektronik, khususnya bagi orang-orang yang tak berdaya menikmati keindahan buku fisik secara langsung. Apa yang sebenarnya diperdebatkan? Bukankah esensi dari sebuah buku terletak pada isi cerita dan pengalaman yang dihidangkannya, bukan pada rupa yang menempel? Melalui narasi yang sarat makna, penulis mencermati bagaimana banyak insan yang dalam tanda kutip normal dengan entengnya merendahkan buku elektronik, melontarkan ungkapan klise nan usang seperti “aku suka aroma kertas” atau “aku suka sensasi membalik halaman”. Ungkapan-ungkapan ini, meski tampak romantis, acapkali mencerminkan sikap yang sempit dan mengabaikan kenyataan yang lebih luas.
Lebih jauh, kritik tajam penulis terhadap penerbit juga sangat mencolok. Dalam pandangannya, penerbit sering kali gagal memperhatikan bagaimana buku elektronik diperlakukan dalam proses penerbitan. Ada kesan bahwa mereka masih terfokus pada kebutuhan orang-orang “normal”, sementara buku elektronik, yang memiliki potensi besar untuk memperluas jangkauan dan aksesibilitas, sering kali terabaikan. Ini menciptakan kondisi di mana banyak buku elektronik tidak disiapkan untuk dinikmati dengan nyaman, mengakibatkan banyak pembaca yang terpaksa menghadapi pengalaman membaca yang kurang optimal. Dengan kata lain, penulis menantang kita untuk berpikir lebih dalam tentang cara kita memandang dan menghargai literasi. Dia mengajak pembaca untuk membuka mata terhadap kenyataan bahwa buku, dalam segala bentuknya, memiliki nilai yang sama. Isi cerita yang dihadirkan, pengalaman yang ditawarkan, dan dampak emosional yang ditimbulkan adalah hal-hal yang jauh lebih penting daripada hanya sekadar perdebatan tentang format fisik.
Selanjutnya, saya pun menyempatkan diri untuk merenungi berbagai pengalaman membaca yang dibagikan oleh pembaca-pembaca lain, demi memperoleh sudut pandang yang beraneka ragam dari para pembaca yang telah lebih dahulu menyelami buku ini. Salah satu tulisan yang mencuri perhatian saya adalah karya Svasti yang berjudul
Terlalu Lurus untuk Jadi Bengkok: Ketika Penyandang Disabilitas Berani Punya Hasrat. Judul tersebut sungguh menarik dan mencerminkan kedalaman tema yang diangkat. Bagi yang tergerak rasa ingin tahunya, tulisan itu dapat diakses melalui tautan ini:
https://svvasti.medium.com/terlalu-lurus-untuk-jadi-bengkok-ketika-penyandang-disabilitas-berani-punya-hasrat-1c74cb2a66e7. Saya sangat menikmati tulisan tersebut, karena penulis dengan piawai mengupas hampir seluruh aspek dari
Si Bengkok; mulai dari kisah Asaka Yuuho, seorang aktivis hak-hak penyandang disabilitas asal Jepang yang berpidato dengan penuh keberanian dalam Konferensi Internasional PBB, hingga peraturan-peraturan mengenai UU Disabilitas di Jepang serta nuansa-nuansa lain yang menggugah pikiran. Saya berharap para pembaca yang terhormat dapat meluangkan waktu untuk menyelami tulisan tersebut.
Satu hal lain yang juga mencuri perhatian saya adalah bagian akhir dari cerita ini. Seakan penulis ingin memberikan kesempatan yang berharga kepada para pembaca untuk merenungkan dan menginterpretasikan apa yang sebenarnya terjadi, sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Di sana, di ambang penutupan, terdapat ruang yang terbuka lebar untuk spekulasi dan refleksi di mana penulis dengan cerdik menantang kita untuk tidak sekadar menerima hasil akhir, melainkan untuk terlibat aktif dalam proses pencarian makna yang lebih dalam. Dalam keheningan itu, setiap pembaca dapat menyusun kisah ini dari kepingan-kepingan emosi pribadi mereka, menciptakan tafsiran yang beragam dan penuh warna.
Tak lupa pula, saya ingin membahas aspek penting lainnya: penerjemahan karya ini. Si Bengkok, yang dalam bahasa aslinya bertajuk Hunchback, telah diolah dengan penuh keahlian ke dalam bahasa Indonesia oleh Dewi Anggraeni. Ketika menyelami lembaran-lembaran buku ini, saya merasakan betapa cermat dan peka pemilihan kata yang digunakan oleh Dewi Anggraeni, hingga penyusunan kalimatnya pun menyisakan bekas mendalam dalam jiwa saya. Ia berhasil menghidupkan sosok Izawa Shaka dengan demikian kuat, memungkinkan saya merasakan kepedihan dan kemarahan yang membara dalam diri sang tokoh, terhadap dunia dan masyarakat yang mengekangnya. Dalam karya berbahasa Indonesia ini, Dewi Anggraeni berhasil menyampaikan dengan tepat cerita yang ingin diungkapkan oleh Ichikawa Saou, merajut setiap kata dengan ketelitian yang patut diapresiasi.
Begitulah, saya benar-benar menikmati perjalanan membaca Si Bengkok karya Ichikawa Saou ini. Dalam keterbatasan jumlah halaman yang tampaknya tipis, tersimpan berbagai pelajaran berharga yang bisa saya ambil. Buku ini, meskipun kecil, penuh dengan pemikiran dan nuansa yang menggugah kesadaran. Dengan tulus, saya sangat menyarankan kepada para pembaca untuk mengarungi lautan pemikiran dalam buku ini. Namun, izinkan saya memberi peringatan, kepada siapa pun yang berminat untuk membaca, agar terlebih dahulu memastikan kedewasaan diri, sebab buku ini mengandung konten dewasa yang cukup banyak, disertai dengan humor gelap yang kadang kala menyengat.