clavishorti's reviews
115 reviews

Anggara Kasih by Tian Topandi

Go to review page

adventurous challenging dark mysterious sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

2.0

Anggara Kasih karya Tian Topandi kerap muncul sebagai rekomendasi wajib bagi para pencinta genre thriller. Banyak pembaca yang tertarik pada buku ini, terutama karena sampulnya yang memikat sekaligus penuh teka-teki. Sampul ini, hasil karya ilustrator Hasta Pena, pada pandangan pertama tampak menggambarkan suasana pedesaan atau perkebunan yang sejuk. Saya pun awalnya merasa demikian—serangkaian hamparan hijau yang tampak menenangkan. Namun, setelah banyak yang menyoroti adanya elemen yang lebih gelap di sampul tersebut, rasa penasaran saya terusik. Saat saya memeriksanya dengan lebih seksama, tiba-tiba saya menyadari adanya detail mengejutkan: sebuah mayat yang berlumuran darah tergeletak di bagian belakang mobil. Saya benar-benar terkejut! Penemuan kecil ini menambah rasa penasaran saya terhadap kisah yang ditawarkan buku ini, dan saya merasa sangat beruntung bisa mendapatkan kesempatan untuk membacanya. 
 
Cerita dimulai dengan kehidupan Aruna, seorang wanita karier yang tampaknya baru saja meraih pencapaian terbesar dalam hidupnya. Saat ia diangkat sebagai kepala cabang di perusahaannya, ia merasa seolah berada di puncak dunia. Namun, kebahagiaannya tidak berlangsung lama. Dalam waktu singkat, segalanya berubah ketika satu per satu rekan kerjanya menghilang tanpa jejak, termasuk Pak Arifin, sang kepala cabang sebelumnya. Kecurigaan pun segera tertuju pada Aruna, terutama ketika bukti-bukti mulai menunjukkan keterlibatannya. Meski Aruna bersikeras bahwa dia bukan pelaku di balik semua ini, sulit baginya untuk meyakinkan orang lain. 
 
Di tengah kerumitan ini, muncul Jemmi, seorang polisi yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus tersebut. Aruna bukanlah orang asing bagi Jemmi; ia adalah teman masa kecil sekaligus cinta pertamanya. Jemmi merasa ada sesuatu yang tidak wajar dengan kematian Pak Arifin. Kejanggalan demi kejanggalan terus muncul, terutama setelah makam Pak Arifin dibongkar dan tengkoraknya hilang dicuri oleh sosok misterius. Dengan tekad kuat, Jemmi memutuskan untuk menggali lebih dalam, tidak hanya demi mengungkap kebenaran, tapi juga untuk menyelamatkan nama baik Aruna yang tengah terpuruk. Dalam pencariannya, Jemmi menemukan bahwa semua kematian ini tampaknya terhubung dengan ritual pesugihan yang disebut ‘Anggara Kasih’. Bayangan gelap mulai menyelimuti jemari Jemmi saat ia mencoba mengurai misteri di balik ketenangan palsu perkebunan teh itu—apakah daun-daun teh yang tampak tak bersalah ini menjadi saksi bisu dari serangkaian pembunuhan yang mengerikan, atau ada kekuatan lain yang bersembunyi di balik hijau yang menenangkan? 
 
Ketika saya mulai menyelami Anggara Kasih karya Tian Topandi, saya dihadapkan pada kejutan yang tak terduga. Alih-alih menghadirkan narasi yang sesuai dengan ekspektasi awal—sebuah kisah thriller yang penuh ketegangan dan permainan psikologis—buku ini justru menawarkan gaya bahasa yang terasa datar dan kurang menggigit. Dengan premis cerita yang begitu menarik, saya sebenarnya memiliki ekspektasi tinggi; saya berharap menemukan alur yang memukau, karakter yang kompleks, dan twist yang mengejutkan. Sayangnya, ekspektasi tersebut tidak sepenuhnya terwujud. Sejumlah elemen dalam buku ini terasa setengah matang dan kurang dieksekusi dengan baik. 
 
Salah satu hal pertama yang menarik perhatian saya adalah penulisan wara di bagian belakang buku, yang menjadi semacam jendela awal bagi pembaca. Saya merasa penyusunan kalimat dan paragraf di bagian ini masih kurang padu. Ada beberapa paragraf yang tampak seolah-olah ditempelkan begitu saja tanpa ada transisi yang jelas, sehingga sulit bagi pembaca untuk mendapatkan gambaran yang solid tentang cerita yang akan dihadapi. Sebagai rekomendasi, saya merasa penyusunan deskripsi ini perlu dirapikan agar lebih bisa menggugah minat sejak awal, dan mampu memberikan bayangan yang lebih konkret tentang konflik utama yang diusung. 
 
Selain itu, gaya bahasa yang digunakan sepanjang buku ini juga menjadi salah satu kelemahan yang cukup signifikan. Saya merasa gaya narasi yang dihadirkan tidak cukup untuk memancing rasa penasaran, apalagi untuk genre thriller yang biasanya sarat dengan suspense dan ketegangan psikologis. Kalimat-kalimatnya sering kali terasa terlalu sederhana dan datar, tidak memberi ruang bagi imajinasi pembaca untuk berkembang. Alur cerita pun tampak terlalu terburu-buru; ada momen-momen penting yang disampaikan begitu saja tanpa pengembangan yang memadai. Akibatnya, transisi antarbagian cerita terasa tidak mulus dan membuat beberapa kejadian terkesan terjadi secara tiba-tiba tanpa latar belakang yang kuat. 
 
Penokohan dalam buku ini pun, menurut saya, kurang maksimal dalam menggali potensi konflik internal yang bisa memperkaya cerita. Misalnya, latar belakang Aruna, tokoh utama, terasa kurang kuat dan tidak cukup terbangun dengan baik sehingga sulit bagi saya untuk memahami bagaimana latar belakang tersebut membentuk kepribadiannya. Sebagai pembaca, saya merasa sulit untuk terhubung secara emosional dengan Aruna karena kurangnya detail yang membuatnya terasa hidup dan tiga dimensi. Lebih jauh lagi, beberapa karakter lain tampak memiliki perubahan sikap yang tidak konsisten dan cenderung membingungkan. Ada karakter yang tiba-tiba beralih dari sosok antagonis menjadi protagonis, dan sebaliknya, tanpa proses yang cukup mendalam atau penjelasan yang logis. Perubahan-perubahan ini seolah terjadi begitu saja, bukan sebagai kejutan yang terencana dengan baik, melainkan lebih karena kurangnya ketegasan dalam membangun karakterisasi. 
 
Secara keseluruhan, meskipun Anggara Kasih memiliki premis yang menarik, saya merasa narasi yang disajikan kurang mampu menarik perhatian dan membangkitkan rasa penasaran saya. Gaya bahasa yang datar, alur cerita yang terburu-buru, dan penokohan yang tidak konsisten membuat pengalaman membaca terasa kurang memuaskan. Namun, selera membaca setiap orang berbeda, dan mungkin ada pembaca lain yang menemukan daya tarik dalam pendekatan naratif ini. Oleh karena itu, saya mendorong pembaca untuk menjelajahi buku ini sendiri dan mengevaluasinya dari sudut pandang mereka, karena siapa tahu, kisah ini mungkin menawarkan pengalaman yang lebih memuaskan bagi mereka yang memiliki preferensi berbeda. 

Expand filter menu Content Warnings
Welcome to the Hyunam-dong Bookshop by Hwang Bo-Reum

Go to review page

challenging emotional informative inspiring reflective relaxing sad slow-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.0

Let me tell you about a book that’s both heartwarming and thought-provoking: Welcome to the Hyunam-Dong Bookshop by Hwang Bo-reum. Translated with grace by Shanna Tan, this novel offers a calming yet invigorating glimpse into the everyday magic of a small bookshop. 
 
At its heart, the story follows Lee Yeongju, who decides to open a bookshop in Hyunam-dong, a charming neighborhood full of character and warmth. But this isn’t just any bookshop; it becomes an unexpected nexus of life-changing stories and encounters. Each page reveals the bookshop as a connecting thread between diverse individuals. It’s more than a place for buying and selling; it’s a stage for serendipitous meetings and profound connections. Through these interactions, characters both influence and inspire one another, creating a vibrant web of relationships that enrich their lives. The bookshop becomes a gravitational pull, drawing together intertwined narratives and emotions in a beautifully orchestrated way. 
 
What’s truly captivating about this book is its serene, warmly engaging storytelling. The leisurely pace of the narrative unfolds in a refreshingly positive way. The characters and their world exude a relaxed, peaceful vibe, as if every detail is designed to offer moments of reflection and peace. In the midst of our fast-paced lives, this book provides a space to pause, appreciate life, and absorb deep insights about human connections and the power of bookshops. 
 
Welcome to the Hyunam-Dong Bookshop by Hwang Bo-reum is the ideal pick if you’re craving a light yet deeply meaningful read about life in a bookshop. It’s not just a treat for those curious about the impact of books and bookshops on our lives but also a source of valuable wisdom about living and connecting. If you’re seeking an escape from the daily grind and a new perspective on how a bookshop can bridge people together, then Welcome to the Hyunam-Dong Bookshop is a must-read. 

Expand filter menu Content Warnings
Rumus Kebenaran Musim Panas (A Midsummer's Equation) by Keigo Higashino

Go to review page

adventurous challenging dark informative mysterious reflective sad tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.0

Kita kembali menelusuri karya Keigo Higashino, setelah sebelumnya saya selesai membaca Kesetiaan Mr. X yang sangat saya nikmati. Kali ini, saya membenamkan diri dalam buku lainnya, Rumus Kebenaran Musim Panas (A Midsummer’s Equation), yang diterjemahkan dengan cermat ke dalam bahasa Indonesia oleh Faira Ammadea.

Sebelum kita membahas inti cerita, saya ingin memberikan pujian pada Faira Ammadea untuk terjemahannya. Setelah membaca Kesetiaan Mr. X, saya sudah merasakan kualitas terjemahannya yang memuaskan. Dalam Rumus Kebenaran Musim Panas (A Midsummer’s Equation), saya juga merasakan hal yang sama. Terjemahan ini berhasil menyampaikan nuansa dan kedalaman cerita tanpa mengurangi esensi asli dari karya Higashino. Kemudahan dalam memahami alur dan karakter dalam buku ini adalah bukti keterampilan Faira Ammadea, yang pantas mendapatkan apresiasi.

Beralih ke cerita, Rumus Kebenaran Musim Panas (A Midsummer’s Equation) membawa kita kembali kepada Manabu Yukawa, fisikawan cerdas yang dikenal sebagai ‘Detective Galileo’, bersama dengan Kusanagi Shunpei dan Kaoru Utsumi. Kali ini, Manabu Yukawa diundang ke sebuah kota pantai kecil bernama Hari Cove untuk memberikan ceramah tentang energi alternatif. Kota ini tengah mempertimbangkan proyek pembangkit listrik tenaga laut yang kontroversial. Namun, kedatangan Manabu Yukawa tiba-tiba tersela oleh penemuan mayat seseorang yang jatuh dari tebing, memaksanya untuk terlibat dalam penyelidikan.

Kisah ini menawarkan keunikan tersendiri dengan kejutan-kejutan yang mampu membalikkan ekspektasi pembaca. Keigo Higashino kembali menunjukkan kemampuannya dalam membangun plot yang memikat. Walaupun beberapa bagian terasa agak panjang dan rumit, saya merasa bahwa kekayaan detail dan petunjuk yang tersebar di sepanjang cerita justru menambah keasyikan dalam proses memecahkan misteri. Meskipun ada bagian-bagian yang berbelit, Keigo Higashino menyisipkan petunjuk-petunjuk kunci yang menuntun pembaca untuk secara aktif berpikir dan menelaah.

Buku ini juga menghadirkan suasana yang lebih hangat dan menyentuh. Di samping elemen misteri yang tajam, cerita ini memberikan wawasan baru tentang konsep ilmiah dan logika matematika melalui dialog yang cerdas dan narasi yang terperinci. Ini menambah dimensi baru yang tidak hanya menghibur tetapi juga mendidik, memberikan pengetahuan tambahan yang bisa dinikmati pembaca.

Secara keseluruhan, saya sangat menikmati Rumus Kebenaran Musim Panas (A Midsummer’s Equation) karya Keigo Higashino. Meskipun proses pengungkapan akhir cerita memerlukan kesabaran, perjalanan membaca ini memberikan pengalaman yang berharga dan memuaskan.

Expand filter menu Content Warnings
The Midnight Library by Matt Haig

Go to review page

adventurous challenging dark emotional mysterious reflective sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0

I’ve been hearing about The Midnight Library by Matt Haig for ages. It seems like every book forum and social media thread has someone raving about it. This book just kept showing up everywhere, grabbing my attention and making me curious. So, I finally decided to see what all the fuss was about. Was it worth it? For me, the answer is a big, resounding yes. I’m genuinely thankful for all those recommendations because, without them, I might have missed out on a reading experience that felt truly meaningful.

Right from the first page, the book plunges you into a thick, all-encompassing darkness. It’s more than just the usual sadness—it’s a heavy, suffocating gloom that seeps into every part of the protagonist’s world. You’re immediately faced with deep loneliness, intense depression, and a loss of any will to live. Nora Seed, our main character, feels stuck in a relentless inner battle, where life has lost all direction and purpose. Before you dive in, here’s a heads-up: this book is emotionally charged and deals with some heavy themes that could trigger feelings of sadness or even depression. So, it’s super important to check in with yourself and make sure you’re in a stable mental place before starting.

The themes in this book are far from light. The Midnight Library digs deep into those regrets that haunt us, the ‘what ifs’ of choices made in the past that never seem to stop lurking, and the dilemmas we face in making decisions about our lives. Through Nora’s journey, we enter this magical library—a place that serves as a bridge between life and death,
where every book represents a different life Nora could have lived.
Matt Haig masterfully turns this into a story that’s not just about death or the end, but about life itself—how every little choice shapes and reshapes our path. I loved how Matt Haig gets you to think about what life really means with this blend of fiction and philosophy.

On a personal note, this book hit me hard. It taught me so much about finding value in life, even when things feel bleak. I was reminded to embrace every decision I’ve made, with all the ups and downs that come with them, and to live with mindfulness and acceptance. The Midnight Library made me look inward, rethink my own choices, and consider how I want to move forward from here.

In the end, this isn’t just a story—it’s a reflection on what life is and how we choose to live it. If you’re looking for a book that gives you more than just a plot, but offers a deeper meaning about life and self-discovery, then this one is definitely worth your time. I wholeheartedly recommend The Midnight Library by Matt Haig to anyone ready to see life from a new angle through the eyes of a character who feels so incredibly real and relatable.

Expand filter menu Content Warnings
Kisah-Kisah Kucing (Cat Stories) by James Herriot

Go to review page

adventurous emotional funny informative lighthearted reflective relaxing sad fast-paced

5.0

Ada kalanya kita menemukan sebuah buku secara tidak sengaja, dan tanpa diduga, buku tersebut ternyata begitu menggugah hati dan mempengaruhi cara kita memandang dunia. Kisah-Kisah Kucing (Cat Stories) karya James Herriot adalah salah satu contoh yang sempurna dari fenomena ini. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Jia Effendi, dan menjadi pilihan saya karena judulnya yang menarik, serta sampulnya yang menggambarkan seekor kucing dengan begitu manis, karya Martin Dima. Saya mengambilnya tanpa ekspektasi apa pun, hanya berdasarkan rasa penasaran. Dan ternyata, saya benar-benar jatuh cinta pada buku ini. 
 
James Herriot adalah seorang dokter hewan yang telah mengabdikan hidupnya untuk merawat dan menyembuhkan hewan-hewan, dan pengalamannya sebagai dokter hewan itulah yang menjadi sumber dari kisah-kisah menyentuh dalam buku ini. Kisah-Kisah Kucing (Cat Stories) terdiri dari sepuluh bab, masing-masing bab menampilkan kisah unik yang selalu menempatkan kucing sebagai pusat perhatian. Kisah-kisah ini tidak hanya menyajikan momen-momen manis dan lucu, tetapi juga penuh dengan pelajaran hidup yang dalam tentang kasih sayang, empati, dan hubungan antara manusia dan hewan. 
 
Setiap kisah dalam buku ini memiliki daya tariknya sendiri. Ada saat-saat di mana saya merasa tertawa kecil karena tingkah laku kucing yang jenaka, ada juga saat-saat di mana saya merasa terharu dan bahkan menitikkan air mata karena kedalaman emosi yang disampaikan James Herriot. Menariknya, James Herriot tidak hanya bercerita tentang kucing-kucing yang ia temui, tetapi juga mengangkat kisah tentang istrinya, teman sejawatnya, tetangganya, bahkan orang-orang asing yang baru saja ia kenal. Semua ini membuat pembaca merasakan kehangatan dan keterhubungan yang erat antara manusia, hewan, dan lingkungan mereka. 
 
Gaya bercerita James Herriot sungguh sederhana, namun justru di situlah terletak kekuatan bukunya. Tanpa perlu berlebihan atau terlalu dramatis, James Herriot berhasil menggambarkan setiap peristiwa dengan begitu jujur dan nyata. Pembaca seolah diajak untuk ikut merasakan setiap momen, dari yang paling bahagia hingga yang paling menyedihkan. Cara James Herriot menulis mengingatkan saya pada percakapan santai namun penuh makna yang sering kali kita rindukan. 
 
Lebih dari sekadar kumpulan cerita tentang kucing, buku ini menawarkan banyak pelajaran tentang bagaimana hubungan antara manusia dan hewan bisa begitu istimewa. James Herriot mengajarkan bahwa rasa percaya antara manusia dan hewan tidak terjadi begitu saja; ia adalah hasil dari kesabaran, kebaikan hati, dan keinginan untuk benar-benar memahami satu sama lain. Buku ini juga mengingatkan kita akan pentingnya saling mengasihi dan menghargai semua makhluk ciptaan Tuhan, baik manusia maupun hewan. 
 
Membaca buku ini adalah pengalaman yang menghangatkan hati, penuh dengan momen-momen yang akan membuat pembaca tersenyum, tertawa, bahkan terharu. Bagi siapa saja yang mencari bacaan yang ringan namun bermakna, Kisah-Kisah Kucing (Cat Stories) karya James Herriot adalah pilihan yang tepat. Terlebih bagi para pecinta kucing, buku ini adalah sebuah harta karun. Dengan segala kerendahan hati, saya sangat merekomendasikan buku ini. 

Expand filter menu Content Warnings
Teka-Teki Rumah Aneh by Uketsu

Go to review page

adventurous challenging dark mysterious reflective sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? No
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

4.0

Sejak pertama kali diumumkan bahwa sebuah buku misteri dari penulis Jepang dengan denah rumah yang sangat tidak biasa akan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, rasa penasaran saya langsung melonjak. Terlebih lagi, video cuplikan adegan dari buku ini yang diunggah oleh penulisnya, Uketsu, di YouTube, berhasil memicu gelombang rasa ingin tahu yang tak tertahan. Ada sesuatu yang memikat dalam setiap detiknya—entah itu misteri rumahnya, atau teka-teki yang tampak tak berujung. 
 
Pikiran saya pun mulai bermain-main dengan berbagai skenario liar. Apakah rumah aneh ini memiliki sejarah kelam sebagai lokasi pembunuhan? Atau mungkin, ini adalah tempat persembunyian seorang psikopat yang menawan korbannya dalam kegelapan? Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak saya semakin membuat rasa penasaran membuncah. Akhirnya, setelah berbagai pertanyaan yang terus menggelitik pikiran, saya mendapatkan kesempatan untuk menyelami buku ini dalam versi bahasa Indonesia, yang diterjemahkan oleh Eri Pramestiningtyas dengan judul Teka-teki Rumah Aneh
 
Saat mulai membaca, saya langsung tenggelam dalam alur cerita yang diciptakan Uketsu. Cara penulisannya membuat cerita ini bergerak cepat, seolah tanpa jeda, sehingga pembaca hampir tak sempat bernapas. Gaya penceritaan Uketsu ini begitu mengalir dan penuh energi, menanamkan rasa penasaran yang semakin membara dengan setiap halaman yang saya balik. Alurnya yang dinamis dan penuh kejutan membuat saya terus-menerus ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, membuat saya enggan berhenti membaca sampai benar-benar menuntaskan halaman terakhir. 
 
Salah satu hal yang membuat buku ini begitu menarik adalah dominasi dialog di dalamnya—sesuatu yang jarang saya temukan di novel lain. Awalnya, saya khawatir hal ini akan membuat ceritanya terasa datar atau monoton, tapi ternyata justru sebaliknya. Dialog-dialog tersebut memberikan ritme yang cepat dan meningkatkan ketegangan di setiap percakapan. Setiap interaksi di antara karakter seolah menyimpan rahasia, memancing saya untuk menebak-nebak, hanya untuk dikejutkan oleh perkembangan yang tak terduga. Dengan cara ini, Uketsu berhasil membangun atmosfer misterius yang semakin mendalam seiring dengan berjalannya cerita. 
 
Cerita yang diangkat juga sangat unik, dengan kejutan-kejutan yang akhirnya dihadirkan oleh penulis benar-benar di luar ekspektasi saya. Bahkan ketika saya berpikir sudah mulai memahami ke mana arah cerita ini, Uketsu menghadirkan kejutan yang membuat saya terperangah. Hingga di akhir cerita, saya masih menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab, bahkan merasa merinding saat memikirkannya kembali. 
 
Tentu, jika boleh jujur, ada beberapa hal yang membuat saya merasa sedikit tidak nyaman. Karakter-karakter dalam cerita ini digambarkan dengan rasa ingin tahu yang terkadang terasa begitu berlebihan—sampai pada titik menjengkelkan, atau bahkan tidak realistis. Tapi, bukankah itu yang membuat cerita ini terus bergerak? Tanpa rasa penasaran yang menggebu-gebu dari para karakter, misteri di balik rumah aneh ini mungkin tidak akan pernah terungkap. Selain itu, ada beberapa kebetulan dalam cerita yang terasa terlalu fantastis dan sulit dipercaya. 
 
Secara keseluruhan, saya sangat menikmati pengalaman membaca Teka-teki Rumah Aneh karya Uketsu. Ini adalah buku yang tepat untuk dibaca dalam sekali duduk, dengan alur cerita yang mengalir cepat dan penuh ketegangan. Jika Anda mencari kisah yang mampu menguji pikiran dan membuat Anda terus bertanya-tanya, buku ini adalah pilihan yang tepat. Uketsu telah berhasil menciptakan dunia penuh teka-teki, di mana setiap jawaban hanya membuka lebih banyak pertanyaan. Apakah Anda berani memasukinya? 

Expand filter menu Content Warnings
The Man Who Died Twice by Richard Osman

Go to review page

adventurous challenging dark emotional funny mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0

I’m back at it again with Richard Osman’s genius—diving into the second book of the Thursday Murder Club series, “The Man Who Died Twice”. Right from the start, I was buzzing with excitement, especially since the first book had already won me over. And yep, my hype was totally worth it!

“The Man Who Died Twice” keeps the magic of the first book alive: thrilling adventures, deep friendships, and that warm, cozy family vibe, all mixed with Richard Osman’s sharp humor that kept me grinning from ear to ear. The story’s dynamic, the characters are layered, and the plot twists are as surprising as ever—everything executed with the same brilliance as the first book. But there’s a standout difference that makes this one even cooler: I felt a stronger emotional connection with every character this time around.

This book brings a whole new level of warmth and depth. There’s something more touching and personal here. I felt every emotion the characters went through like I knew them personally. Richard Osman does a fantastic job of letting us dive deeper into characters who might have been less explored in the first book. It’s a smart move that adds fresh dimensions to the story and makes me even more invested on the Thursday Murder Club world.

I absolutely loved how Richard Osman fleshed out the characters more, making them feel even more real and vibrant. It was like reconnecting with old friends I’ve missed, but this time getting to know them on a deeper level with all their quirks and complexities. So, “The Man Who Died Twice” isn’t just a fun read; it’s an unforgettable reading experience.

I’m genuinely impressed with how Richard Osman in “The Man Who Died Twice” delves into deeper themes beyond just mystery and adventure. Beneath the tension-filled and humorous stories, there are reflections on loneliness and togetherness, how the past shapes the future, and the meaning of life and death itself. All these themes are wrapped up so neatly and thoughtfully, never feeling forced or rushed. Instead, the narrative flows naturally, making me feel like I was living through the characters’ days, sharing their joys and sorrows, and savoring every little moment they presented.

This is one of the reasons I highly recommend the Thursday Murder Club series to everyone! Especially this second book, which I think should be on the reading list of anyone looking for a story with multiple layers of meaning. Richard Osman offers an adventure and mystery that tickles the curiosity, humor that invites laughter, warmth that touches the heart, and deep emotional moments. It’s such a near-perfect combination, hard to match. 

So, don’t hesitate to pick up “The Man Who Died Twice” by Richard Osman. Get ready to dive into a story that will make you think, feel, and laugh. Trust me, it’s one of those books that should definitely be on your next reading list!

Expand filter menu Content Warnings
The Tokyo Zodiac Murders (Pembunuhan Zodiak Tokyo) by Sōji Shimada

Go to review page

challenging dark emotional mysterious reflective sad tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? Plot
  • Strong character development? No
  • Loveable characters? No
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

4.0

Novel The Tokyo Zodiac Murders (Pembunuhan Zodiak Tokyo) karya Soji Shimada membuka pintu menuju misteri gelap dan penuh teka-teki yang terjadi di Jepang, sebuah kisah yang melibatkan pembunuhan-pembunuhan yang tetap tak terpecahkan selama lebih dari 40 tahun. Bahkan pihak kepolisian maupun detektif-detektif ulung tak mampu menemukan jawaban yang memuaskan. Cerita ini mengeksplorasi tiga kasus pembunuhan beruntun yang mengerikan, masing-masing penuh dengan liku-liku yang mengguncang dan menguji logika. Semua bermula dengan kematian seorang seniman nyentrik yang menyimpan obsesi mengerikan.
 
Heikichi Umezawa, sang seniman dan kepala keluarga yang terkenal dengan karya-karya surealisnya, ditemukan tewas mengenaskan di studio pribadinya. Sebuah hantaman benda tumpul mengakhiri hidupnya, namun itu baru permulaan dari misteri yang lebih dalam. Ruangan di mana ia ditemukan terkunci rapat dari dalam, seakan memberi petunjuk bahwa kematian ini bukan sekadar pembunuhan biasa, tetapi sebuah permainan penuh tipu muslihat yang kompleks. Di dekat tubuhnya, ditemukan sebuah surat wasiat yang mengejutkan semua orang. Heikichi merencanakan penciptaan seorang wanita sempurna, yang disebutnya ‘Azoth’, yang akan ia bentuk dari potongan tubuh perempuan-perempuan muda di keluarganya sendiri. Rencana ini bukan hanya menggila, tetapi juga memantik kecurigaan, mungkinkah ia adalah korban dari obsesinya sendiri?
 
Namun, misteri tidak berhenti di sana. Tak lama setelah kematian Heikichi, Kazue Kanemoto, putri tiri sang seniman, ditemukan tewas dengan cara yang tak kalah kejam. Kepala Kazue dihantam dengan vas beling, dan di tubuhnya ditemukan bukti adanya kekerasan seksual. Kejahatan yang brutal ini membawa cerita ke babak baru yang semakin kelam. Polisi dan penyelidik berusaha keras untuk menghubungkan titik-titik antara kedua kasus ini. Apakah kematian Kazue adalah bagian dari rencana gila Heikichi? Ataukah ada dalang lain yang lebih berbahaya di balik semua ini? Bukti yang ada tak cukup kuat untuk mengaitkan kedua kematian tersebut, namun ada kesan kuat bahwa kedua peristiwa ini terhubung oleh benang merah yang tidak kasat mata.
 
Pembunuhan ketiga mengguncang Tokyo dengan cara yang tak terbayangkan. Satu per satu, gadis-gadis dari keluarga Umezawa ditemukan tewas mengenaskan. Tubuh mereka dimutilasi dengan presisi mengerikan, masing-masing kehilangan satu anggota tubuh, dan bagian-bagian tubuh tersebut tersebar di berbagai lokasi dengan kedalaman yang berbeda-beda. Penemuan ini menambah lapisan baru pada misteri yang sudah begitu rumit. Semua detail pembunuhan ini mengingatkan pada surat wasiat yang ditinggalkan oleh Heikichi Umezawa—sebuah rencana untuk menciptakan sosok Azoth dari potongan-potongan tubuh perempuan. Apakah ini kebetulan yang terlalu mencolok? Ataukah ada seseorang yang melanjutkan mimpi gila Heikichi setelah kematiannya?
 
Novel ini mengajak pembaca untuk menyelami teka-teki yang mengelilingi ketiga kasus pembunuhan tersebut. Upaya penyelidikan yang telah dilakukan dengan intensif, termasuk oleh polisi, tetap tidak mampu mengungkap identitas pelaku atau motif di balik serangkaian kejahatan ini. Lalu, di tahun 1979, muncul secercah harapan ketika sebuah dokumen misterius diserahkan kepada Kiyoshi Mitarai. Sosok ini bukan detektif biasa; dia adalah seorang astrolog eksentrik yang juga memiliki bakat sebagai peramal nasib. Dengan didampingi Kazumi Ishioka—ilustrator dan penggemar kisah detektif—Kiyoshi Mitarai mulai melacak jejak pelaku pembunuhan, serta pencipta Azoth yang seolah hilang ditelan bumi.
 
Saya pribadi merasa sangat menikmati perjalanan dalam buku The Tokyo Zodiac Murders (Pembunuhan Zodiak Tokyo). Soji Shimada berhasil menyajikan sebuah cerita penuh intrik yang memaksa pembaca untuk terus berpikir: siapa sebenarnya pelaku, bagaimana metode pembunuhannya, dan apa alasan di balik kejahatan yang begitu keji ini? Kebetulan saya membaca versi terjemahan bahasa Indonesia oleh Barokah Ruziati, dan sejak awal, saya sudah merasa tertantang oleh banyaknya karakter yang diperkenalkan. Saya harus sering merujuk ke catatan nama-nama tokoh untuk memastikan tidak kehilangan arah dalam mengikuti alur cerita yang rumit namun tetap memikat.
 
Novel ini memang padat dengan berbagai informasi dan detail yang menuntut perhatian penuh dari pembaca. Saya merasa, untuk bisa menikmati kisah ini dengan baik, kita harus benar-benar menyimak setiap petunjuk dan dialog yang ada. Namun, saya juga merasa sedikit frustrasi pada bagian di mana Kiyoshi Mitarai dan Kazumi Ishioka mulai melakukan penyelidikan mereka. Terkadang, mereka tampak seperti berputar-putar di tempat tanpa kemajuan yang berarti. Saya sempat bertanya-tanya, apakah ini adalah cara Soji Shimada untuk mempermainkan kesabaran pembaca, atau mungkin untuk menambah kedalaman pada karakter dan dinamika mereka? 
 
Mungkin penulis sengaja menghadirkan ketidaksabaran ini untuk menciptakan rasa cemas dan mendalam, untuk membuat kita merasa seolah-olah kita sendiri terjebak di tengah teka-teki yang belum terpecahkan ini. Ketika saya membaca lebih lanjut, saya menyadari bahwa setiap percakapan dan tindakan, seberapa pun tampaknya membingungkan atau bertele-tele, sebenarnya mengandung petunjuk-petunjuk tersembunyi.

Menjelang akhir cerita, rasa penasaran saya kembali membara. Ketegangan yang terus meningkat membuat saya tidak sabar menantikan kejutan apa yang akan diungkap. Tanpa adanya bocoran atau petunjuk sebelumnya, saya benar-benar terkejut ketika akhirnya mengetahui rahasia besar yang tersembunyi di balik misteri ini. Penulis, Soji Shimada, menunjukkan kecerdikan luar biasa dengan menghadirkan kejutan yang tak terduga sebagai kunci utama dalam keseluruhan cerita.  Kejutan ini benar-benar menyentak dan memberikan dimensi baru yang menyegarkan bagi keseluruhan narasi. Saya merasa bahwa penulis telah berhasil menciptakan akhir yang memuaskan sekaligus menggugah pikiran, yang tentunya meninggalkan kesan mendalam bagi saya sebagai pembaca. 
 
Saya sangat merekomendasikan The Tokyo Zodiac Murders (Pembunuhan Zodiak Tokyo) karya Soji Shimada kepada siapa saja yang menyukai teka-teki pembunuhan yang kompleks dan menantang. Meskipun ada bagian-bagian yang terasa bertele-tele, terutama dalam narasi Kiyoshi Mitarai dan Kazumi Ishioka, ketelitian dan kesabaran pembaca akan terbayar dengan pengalaman membaca yang memuaskan dan penuh kejutan. Dengan memperhatikan setiap detail dan tetap fokus, pembaca akan dapat menghargai betapa briliannya plot cerita ini dan bagaimana setiap elemen saling terkait untuk membentuk gambaran yang utuh.

Expand filter menu Content Warnings
Peniru dan Pembunuhan Tanpa Jasad by Lee Jong-Kwan

Go to review page

adventurous challenging emotional mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya saya dapat menyelami karya Lee Jong-kwan yang berjudul Peniru dan Pembunuhan Tanpa Jasad. Saya memilih edisi terjemahan bahasa Indonesia yang dengan penuh dedikasi diterjemahkan oleh Lusiani Saputra, dan pengalaman membaca ini jauh melampaui ekspektasi saya. Memasuki cerita dalam buku ini seperti membuka jendela menuju dunia misteri yang rumit namun menggugah rasa ingin tahu. 
 
Alur cerita dalam buku ini sangatlah cerdas dan menawan. Lee Jong-kwan dengan keterampilannya yang luar biasa berhasil membangun setiap lapisan cerita dengan penuh detail. Sejak halaman pertama, saya merasa seperti terjun langsung ke dalam kisah yang penuh dengan ketegangan dan intrik. Setiap bab membawa saya semakin dalam ke dalam misteri yang harus dipecahkan, dan penulis dengan mahir menjaga rasa penasaran saya. Karakter-karakter dalam buku ini terasa hidup, dan perjalanan mereka benar-benar membuat saya merasa terlibat. Saya merasakan setiap perubahan dalam alur cerita dan setiap kejutan dengan sangat mendalam, seolah-olah saya menjadi bagian dari cerita itu sendiri. 
 
Kejutan-kejutan yang penulis hadirkan sepanjang buku benar-benar efektif dalam memikat perhatian saya. Setiap perkembangan baru dalam cerita menambah ketegangan dan rasa ingin tahu saya tentang bagaimana semua elemen cerita akan terhubung. Kejutan-kejutan ini tidak hanya mengejutkan, tetapi juga memicu semangat saya untuk terus membalik halaman dan mencari tahu bagaimana kisah ini akan berakhir. Kepiawaian Lee Jong-Kwan dalam merajut cerita yang kompleks dan penuh kejutan membuat pengalaman membaca ini sangat memuaskan. 
 
Di luar cerita yang memikat, saya juga sangat terkesan dengan desain sampul buku ini. Ilustrasi sampul karya Astried Maulidya dan Disa Pracita Dewi tidak hanya menarik perhatian saya, tetapi juga menggugah rasa penasaran sejak pertama kali melihatnya. Gambar-gambar yang dipilih, tata letak yang elegan, dan pemilihan warna yang cermat semuanya bekerja sama untuk menciptakan tampilan visual yang memikat dan sesuai dengan esensi cerita. Setelah menyelesaikan buku, saya baru menyadari betapa banyak elemen penting dari cerita yang sebenarnya telah dihadirkan dalam ilustrasi sampul, sebuah detail yang menambah dimensi baru pada pengalaman membaca saya. 
 
Bagi para pecinta misteri dan teka-teki, terutama mereka yang menikmati bumbu-bumbu petualangan detektif, saya sangat merekomendasikan buku ini. Selama membaca Peniru dan Pembunuhan Tanpa Jasad karya Lee Jong-kwan, saya benar-benar merasakan bagaimana setiap lembar ceritanya memikat dan tidak membuat bosan. Lee Jong-Kwan telah berhasil menciptakan sebuah karya yang sangat layak untuk dibaca, sebuah pengalaman membaca yang akan memuaskan dan meninggalkan kesan mendalam bagi setiap penggemar genre ini. 

Expand filter menu Content Warnings
The Vegetarian by Han Kang

Go to review page

challenging dark emotional mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0

Kim Yeong-hye, an ordinary woman trapped in the monotony of her everyday life, is suddenly ensnared by haunting nightmares. These spectral visions, awash with blood and chaos, disrupt her reality in ways she never imagined. In a desperate attempt to escape the terror of her own mind, she makes an unconventional choice—vowing to forsake all meat. But this seemingly minor decision is only the beginning of a much deeper and more unsettling transformation. As Yeong-hye is drawn further into a silent rebellion that morphs into something far more sinister, she plunges into an abyss that defies human comprehension. 
 
Where will this eerie journey lead her? 
 
 
The term ‘vegetarian’ might be familiar, but its meaning has evolved beyond a simple dietary choice. What was once seen as a mere preference has now become a lifestyle—an expression of deep moral, ethical, and health convictions. Essentially, vegetarianism focuses on a plant-based diet, excluding all forms of meat and sometimes even products derived from animal slaughter. Those who follow this practice are known as vegetarians. 
 
In The Vegetarian by Han Kang, we meet a protagonist whose experience is anything but ordinary. She wakes up sweating, haunted by nightmarish shadows that radically alter her view of the world. This dream makes her see life and death through a new lens, leading her to believe that quitting meat is not just a choice but an undeniable necessity. Yet, her decision to become a vegetarian spirals into something far more extreme, more terrifying, and potentially more dangerous as the lines of normality start to fade. 
 
The phenomenon is intriguing, as vegetarianism and even veganism are now seen as conventional and widely accepted. But what if such a dietary shift happens under extreme circumstances? What if this decision triggers a series of horrifying events that shatter the protagonist’s soul and disrupt the lives of those around her? Here’s where the book’s uniqueness and appeal come into play: it explores the depths of the human psyche through Kim Yeong-hye’s story—a woman whose simple choice to stop eating meat unravels into a complex web of conflict, both within herself and her surroundings. 
 
The book is structured in a compelling way, divided into three chapters, each offering a different perspective. However, what makes it stand out is that none of these viewpoints belong to Kim Yeong-hye herself. The story is told through the eyes of those around her: her husband, Mr. Cheong; her brother-in-law, the spouse of her sister; and her sister, Kim In-Hye. This approach lets us see how Kim Yeong-hye’s choice to become a vegetarian is perceived by her close circle, how it impacts their lives, and ultimately, how it forces them to confront their own often dark realities. These three chapters guide us through an emotional journey filled with conflict, revealing the deepest layers of each character and making us question what really lies beneath the surface. 
 
In the first chapter, “The Vegetarian”, we delve into the radical choice of Kim Yeong-hye. From Mr. Cheong’s perspective, her decision to stop eating meat is seen as an unforgivable rebellion. Mr. Cheong, with his conservative views, believes a wife should adhere to societal norms and be submissive. His cynical and scornful attitude towards his wife reflects a deep-seated patriarchal mindset; he views Kim Yeong-hye’s choice as both shameful and a threat to their marital harmony. This chapter reveals Kim Yeong-hye’s life as an emotionally isolated wife, trapped in a loveless marriage, shrouded in unspoken darkness.
 
 
But the tension doesn’t stop there. We learn that Kim Yeong-hye has lived under the shadow of violence since childhood. Her father, an authoritarian figure, was harsh, often using physical violence as punishment and control. From a young age, she was accustomed to a life of repression and fear, where her voice went unheard and her will unappreciated. This childhood trauma seems to be the root of her inner conflict, pushing her towards a personal rebellion through a choice that might seem trivial but is deeply significant. Her decision to become a vegetarian is not just about rejecting meat; it’s an attempt to break free from the chains of control that have bound her life since childhood—chains once held by her father and now by her husband.
 
Through this carefully crafted chapter, the author critiques the patriarchal system and a society burdened with rigid social standards. Kim Yeong-hye’s choice to become a vegetarian symbolizes resistance against these norms. The story highlights how women are often trapped in cycles of recurring violence—both physical and psychological—due to oppressive social and cultural demands. “The Vegetarian” invites deep reflection on freedom and self-identity. Kim Yeong-hye’s decision is a symbol of a profound search for self, an effort to escape external control and discover true meaning in life. Yet, it also underscores the difficulty of being oneself in a world that doesn’t always welcome differences and bravery.
 
In the second chapter, “Mongolian Mark”, we’re drawn into a provocative and unsettling story through the eyes of an anxious narrator—Kim Yeong-hye’s brother-in-law, a man increasingly consumed by his dark obsession. This man, who is married to Kim Yeong-hye’s sister, Kim In-hye, discovers what he believes is a hidden gateway to his repressed fantasies when he sees a Mongolian mark on his sister-in-law’s body. The Mongolian mark, a faint blue birthmark common among Asian babies, should be normal, but to him, it becomes an exotic, mystical, and erotic symbol—an obsession that gradually erodes his morality. He views this mark not merely as a physical oddity but as a symbol of primitive and wild allure, igniting his artistic instincts and awakening desires far beyond the bounds of propriety.
 
As the story unfolds, the seemingly calm brother-in-law reveals his darker side, full of manipulation. Behind the façade of a visual artist, he is, in truth, a predator closely observing his prey. He becomes obsessed with creating an art project that uses Yeong-hye’s body as a canvas, painting symbolic flowers on her skin, as if her body were merely a lifeless object he could shape to his whims. Yet, beneath this artistic pretense lies a cover for his insatiable sexual desire for Yeong-hye. This obsession goes beyond admiration and transforms into a pressing urge to conquer, dominate, and possess.
 
In his mind, art and sexual desire blur into a mix of passion and power. He doesn’t see Yeong-hye’s body as something valuable or sacred but as raw material to exploit for his own depraved fantasies. He views Yeong-hye not as a human with feelings, boundaries, or traumas but as an object to be polished, manipulated, and molded into whatever he desires. His desire turns him into a cunning and manipulative figure; he uses his influence and position to coerce Yeong-hye into his planned art project, disregarding her will or consent. Here, the lines between love and violence, art and torture, become disturbingly thin and blurred.
 
 
The author effectively portrays the brother-in-law as a representation of patriarchal power, using women’s bodies as tools for personal gratification. In his actions, he disregards all moral and ethical norms, using art as an excuse to justify his horrific deeds. He manipulates situations to serve his own selfish needs, ignoring the damage he inflicts on Yeong-hye’s life and psychological well-being. In doing so, he reveals the vulnerability of women under the shadow of male control and domination, even within a supposedly safe environment like family.
 
 
This chapter forces readers to confront the harsh reality of how art, when twisted by depraved individuals, can become an instrument of violence. The brother-in-law not only crosses ethical boundaries in art but also moral boundaries as a human being. He demonstrates that when desire and power run unchecked, even the most beautiful things, like art, can become tools of destruction. Here, the author challenges readers to reflect on how uncontrolled desires can manifest in the most dangerous forms and how the boundaries between art, power, and devastation are often much thinner than we imagine.
 
 
In the third chapter, “Flaming Trees”, we dive into Kim In-hye’s world, Kim Yeong-hye’s sister, who is now ensnared in her own labyrinth of confusion. This chapter delves deeply into how Yeong-hye’s radical decision impacts her family, especially Kim In-hye. Yeong-hye’s extreme step to become a tree doesn’t just create turmoil in her own life but also sets off a destructive domino effect around her. This choice is a radical statement against a monotonous and restrictive life, an attempt to escape a mundane routine and seek peace in a purer form of existence.
 
 
Kim In-hye, who once appeared strong and stable, now faces profound emotional turmoil. Watching her sister embrace life as a tree, In-hye must confront the bitter reality of a life that has failed to fulfill her hopes and desires. Her empty marriage, monotonous daily routine, and the weight of single motherhood exacerbate her feelings of loneliness and confusion. Her husband, after being involved in a scandal with Yeong-hye, has left, leaving In-hye in solitude, forcing her to confront her circumstances head-on.
 
 
Here, the author presents a stark contrast between the life principles of Kim Yeong-hye and Kim In-hye. While Yeong-hye rejects social norms and seeks a more authentic and natural way of living, Kim In-hye is trapped in a conventional world that increasingly confines her. This difference creates a deep rift, intensifying the tension in their relationship. Yeong-hye’s decision to defy conformity not only shakes up her personal life but also forces those around her to reassess their own life meanings. Amidst the chaos, In-hye must reflect on her own existential meaning and how these differing values have impacted every aspect of her life.
 
 
This chapter is not just about the impact of extreme decisions on a family but also about how trauma and suffering can ripple out and create crises that force individuals to face often painful realities. By exploring the feelings and conflicts that arise, the author invites readers to contemplate their own lives and the challenges faced in their journey to find meaning and peace amidst the chaos.
 
 
The Vegetarian by Han Kang, masterfully translated into English by Deborah Smith, beckoning anyone eager to immerse themselves in a narrative that is both profoundly unique and deeply resonant. Far beyond a mere story, this novel dives into essential themes—life, personal choices, and, above all, the female experience in society. With its mesmerizing prose and a plot brimming with unexpected turns, The Vegetarian demands introspection and challenges readers to unravel the intricate layers of human existence. Every page offers an emotional odyssey, awakening the soul and igniting reflection.

Expand filter menu Content Warnings