Scan barcode
A review by clavishorti
Anggara Kasih by Tian Topandi
adventurous
challenging
dark
mysterious
sad
tense
fast-paced
- Plot- or character-driven? A mix
- Strong character development? It's complicated
- Loveable characters? It's complicated
- Diverse cast of characters? It's complicated
- Flaws of characters a main focus? It's complicated
2.0
Anggara Kasih karya Tian Topandi kerap muncul sebagai rekomendasi wajib bagi para pencinta genre thriller. Banyak pembaca yang tertarik pada buku ini, terutama karena sampulnya yang memikat sekaligus penuh teka-teki. Sampul ini, hasil karya ilustrator Hasta Pena, pada pandangan pertama tampak menggambarkan suasana pedesaan atau perkebunan yang sejuk. Saya pun awalnya merasa demikian—serangkaian hamparan hijau yang tampak menenangkan. Namun, setelah banyak yang menyoroti adanya elemen yang lebih gelap di sampul tersebut, rasa penasaran saya terusik. Saat saya memeriksanya dengan lebih seksama, tiba-tiba saya menyadari adanya detail mengejutkan: sebuah mayat yang berlumuran darah tergeletak di bagian belakang mobil. Saya benar-benar terkejut! Penemuan kecil ini menambah rasa penasaran saya terhadap kisah yang ditawarkan buku ini, dan saya merasa sangat beruntung bisa mendapatkan kesempatan untuk membacanya.
Cerita dimulai dengan kehidupan Aruna, seorang wanita karier yang tampaknya baru saja meraih pencapaian terbesar dalam hidupnya. Saat ia diangkat sebagai kepala cabang di perusahaannya, ia merasa seolah berada di puncak dunia. Namun, kebahagiaannya tidak berlangsung lama. Dalam waktu singkat, segalanya berubah ketika satu per satu rekan kerjanya menghilang tanpa jejak, termasuk Pak Arifin, sang kepala cabang sebelumnya. Kecurigaan pun segera tertuju pada Aruna, terutama ketika bukti-bukti mulai menunjukkan keterlibatannya. Meski Aruna bersikeras bahwa dia bukan pelaku di balik semua ini, sulit baginya untuk meyakinkan orang lain.
Di tengah kerumitan ini, muncul Jemmi, seorang polisi yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus tersebut. Aruna bukanlah orang asing bagi Jemmi; ia adalah teman masa kecil sekaligus cinta pertamanya. Jemmi merasa ada sesuatu yang tidak wajar dengan kematian Pak Arifin. Kejanggalan demi kejanggalan terus muncul, terutama setelah makam Pak Arifin dibongkar dan tengkoraknya hilang dicuri oleh sosok misterius. Dengan tekad kuat, Jemmi memutuskan untuk menggali lebih dalam, tidak hanya demi mengungkap kebenaran, tapi juga untuk menyelamatkan nama baik Aruna yang tengah terpuruk. Dalam pencariannya, Jemmi menemukan bahwa semua kematian ini tampaknya terhubung dengan ritual pesugihan yang disebut ‘Anggara Kasih’. Bayangan gelap mulai menyelimuti jemari Jemmi saat ia mencoba mengurai misteri di balik ketenangan palsu perkebunan teh itu—apakah daun-daun teh yang tampak tak bersalah ini menjadi saksi bisu dari serangkaian pembunuhan yang mengerikan, atau ada kekuatan lain yang bersembunyi di balik hijau yang menenangkan?
Ketika saya mulai menyelami Anggara Kasih karya Tian Topandi, saya dihadapkan pada kejutan yang tak terduga. Alih-alih menghadirkan narasi yang sesuai dengan ekspektasi awal—sebuah kisah thriller yang penuh ketegangan dan permainan psikologis—buku ini justru menawarkan gaya bahasa yang terasa datar dan kurang menggigit. Dengan premis cerita yang begitu menarik, saya sebenarnya memiliki ekspektasi tinggi; saya berharap menemukan alur yang memukau, karakter yang kompleks, dan twist yang mengejutkan. Sayangnya, ekspektasi tersebut tidak sepenuhnya terwujud. Sejumlah elemen dalam buku ini terasa setengah matang dan kurang dieksekusi dengan baik.
Salah satu hal pertama yang menarik perhatian saya adalah penulisan wara di bagian belakang buku, yang menjadi semacam jendela awal bagi pembaca. Saya merasa penyusunan kalimat dan paragraf di bagian ini masih kurang padu. Ada beberapa paragraf yang tampak seolah-olah ditempelkan begitu saja tanpa ada transisi yang jelas, sehingga sulit bagi pembaca untuk mendapatkan gambaran yang solid tentang cerita yang akan dihadapi. Sebagai rekomendasi, saya merasa penyusunan deskripsi ini perlu dirapikan agar lebih bisa menggugah minat sejak awal, dan mampu memberikan bayangan yang lebih konkret tentang konflik utama yang diusung.
Selain itu, gaya bahasa yang digunakan sepanjang buku ini juga menjadi salah satu kelemahan yang cukup signifikan. Saya merasa gaya narasi yang dihadirkan tidak cukup untuk memancing rasa penasaran, apalagi untuk genre thriller yang biasanya sarat dengan suspense dan ketegangan psikologis. Kalimat-kalimatnya sering kali terasa terlalu sederhana dan datar, tidak memberi ruang bagi imajinasi pembaca untuk berkembang. Alur cerita pun tampak terlalu terburu-buru; ada momen-momen penting yang disampaikan begitu saja tanpa pengembangan yang memadai. Akibatnya, transisi antarbagian cerita terasa tidak mulus dan membuat beberapa kejadian terkesan terjadi secara tiba-tiba tanpa latar belakang yang kuat.
Penokohan dalam buku ini pun, menurut saya, kurang maksimal dalam menggali potensi konflik internal yang bisa memperkaya cerita. Misalnya, latar belakang Aruna, tokoh utama, terasa kurang kuat dan tidak cukup terbangun dengan baik sehingga sulit bagi saya untuk memahami bagaimana latar belakang tersebut membentuk kepribadiannya. Sebagai pembaca, saya merasa sulit untuk terhubung secara emosional dengan Aruna karena kurangnya detail yang membuatnya terasa hidup dan tiga dimensi. Lebih jauh lagi, beberapa karakter lain tampak memiliki perubahan sikap yang tidak konsisten dan cenderung membingungkan. Ada karakter yang tiba-tiba beralih dari sosok antagonis menjadi protagonis, dan sebaliknya, tanpa proses yang cukup mendalam atau penjelasan yang logis. Perubahan-perubahan ini seolah terjadi begitu saja, bukan sebagai kejutan yang terencana dengan baik, melainkan lebih karena kurangnya ketegasan dalam membangun karakterisasi.
Secara keseluruhan, meskipun Anggara Kasih memiliki premis yang menarik, saya merasa narasi yang disajikan kurang mampu menarik perhatian dan membangkitkan rasa penasaran saya. Gaya bahasa yang datar, alur cerita yang terburu-buru, dan penokohan yang tidak konsisten membuat pengalaman membaca terasa kurang memuaskan. Namun, selera membaca setiap orang berbeda, dan mungkin ada pembaca lain yang menemukan daya tarik dalam pendekatan naratif ini. Oleh karena itu, saya mendorong pembaca untuk menjelajahi buku ini sendiri dan mengevaluasinya dari sudut pandang mereka, karena siapa tahu, kisah ini mungkin menawarkan pengalaman yang lebih memuaskan bagi mereka yang memiliki preferensi berbeda.
Graphic: Gore, Violence, Kidnapping, and Murder