clavishorti's reviews
115 reviews

Belenggu by Armijn Pane

Go to review page

adventurous challenging emotional mysterious reflective sad fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.0

Dalam khazanah sastra roman klasik Indonesia, seringkali terhampar kisah-kisah cinta yang sarat dengan onak duri dan halangan, di mana hubungan antara tokoh-tokoh kerap terjegal oleh perbedaan status sosial yang mencolok atau konflik keluarga yang kian meruncing. Kisah-kisah ini tak hanya menyoroti permasalahan cinta, tetapi juga menyelami kehidupan sehari-hari masyarakat, dengan cerminan adat istiadat, kebiasaan, dan norma sosial yang begitu kental dengan suasana zamannya. Karya-karya ini sering pula berfungsi sebagai cermin kritik sosial, mengangkat isu ketidakadilan dan kesenjangan yang menggerogoti tatanan masyarakat, sembari menanamkan nilai-nilai moral dan etika melalui perjalanan karakter-karakter yang penuh warna. Roman klasik juga tak jarang memadukan elemen sejarah dan politik, menyatukan narasi dengan peristiwa-peristiwa penting yang membentuk konteks sejarah. 
 
Dari sinilah rasa ingin tahu saya mulai tumbuh, mendorong keinginan untuk menyelami karya sastra roman klasik Indonesia lebih dalam. Pilihan saya jatuh pada Belenggu, sebuah karya paling tersohor yang ditulis oleh Armijn Pane, terbit pada tahun 1940. Buku ini menawarkan gaya bahasa yang khas dan unik, merefleksikan nuansa sastra pada masa tersebut. Meskipun gaya bahasa tersebut mungkin memerlukan penyesuaian bagi pembaca modern, saya menemukan diri saya segera tenggelam dalam alur cerita tanpa banyak kesulitan. 
 
Belenggu tidak hanya mengikuti jejak roman klasik yang umumnya mengangkat konflik cinta dan status sosial, tetapi ia juga mengusung tema yang lebih berani dan kontroversial. Penulis mengangkat topik
perselingkuhan
dan pemberontakan terhadap patriarki—sebuah isu yang dianggap tabu pada zamannya, dan mungkin juga pada masa kini. Melalui tokoh utamanya, seorang dokter dan istrinya, Armijn Pane menggambarkan ketidakpatuhan terhadap norma-norma patriarki yang mendominasi masyarakat. Istri sang dokter, yang menolak untuk tunduk pada norma-norma patriarki, menghadapi cemoohan dan penilaian sosial yang keras. Karya ini memaparkan dinamika rumah tangga yang kompleks, dengan konflik yang mencuat antara ekspektasi masyarakat dan keinginan pribadi tokoh-tokohnya. Melalui konflik tersebut, penulis tidak hanya menyentuh aspek moral dan sosial, tetapi juga mengundang refleksi mendalam mengenai pandangan agama dan norma-norma yang mengikat masyarakat. 
 
Sebagai pembaca, saya merasa terlibat secara emosional dengan setiap ketegangan dan dinamika yang dihadirkan. Konflik yang digambarkan oleh Armijn Pane memicu ketegangan dan pemikiran yang mendalam, membawa saya pada refleksi pribadi mengenai isu-isu yang masih relevan hingga kini. Meskipun Belenggu karya Armijn Pane telah diterbitkan beberapa dekade lalu, daya tariknya tidak memudar, dan karya ini tetap mampu menyentuh hati dan pikiran pembaca dengan caranya yang khas.

Expand filter menu Content Warnings
Putri-Putri Cantikku (Pretty Girls) by Karin Slaughter

Go to review page

dark emotional mysterious sad tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

3.0

Sudah sejak lama saya merasa penasaran dengan karya-karya dari Karin Slaughter. Nama “Karin Slaughter” tampaknya tak pernah absen dari daftar rekomendasi ketika orang-orang diminta menyebutkan novel dengan genre thriller terbaik. Dengan reputasinya sebagai penulis yang mahir merangkai cerita penuh ketegangan, serta ulasan positif yang menghiasi berbagai platform literatur, saya pun akhirnya memutuskan untuk mencoba salah satu karyanya. Saya memilih Putri-Putri Cantikku (Pretty Girls), versi terjemahan bahasa Indonesia oleh Gloria Saripah Patara. Judul tersebut seolah menjanjikan sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri dan dinamika emosional yang kompleks, sesuatu yang menarik hati saya sejak awal. 
 
Saya menyelami halaman-halaman pertama dengan antusiasme yang tinggi. Di benak saya, harapan sudah terbangun sedemikian rupa—menggambarkan narasi yang akan memikat dan membuat saya terpaku hingga halaman terakhir. Namun, semakin jauh saya membaca, semakin saya merasa tersesat. Kesulitan pertama yang saya temui adalah memperjelas siapa tokoh-tokoh utama di dalam cerita ini. Nama-nama bermunculan tanpa konteks yang memadai, sementara latar belakang dan hubungan antar karakter terasa kabur. Situasi ini diperparah dengan penggunaan sudut pandang yang terus berganti; seolah-olah setiap bab memiliki suara naratif yang berbeda. Perubahan perspektif ini bukannya menambah kedalaman cerita, melainkan membuat saya semakin sulit mengikuti benang merahnya. Bahkan, terkadang saya merasa bingung dengan bagaimana karakter-karakter tersebut dipanggil, yang kadang terasa tidak konsisten. 
 
Dari segi cerita, saya sebenarnya merasa bahwa topik yang diangkat memiliki potensi yang luar biasa. Premis yang ditawarkan terasa cukup kuat untuk menarik minat pembaca yang menyukai ketegangan dan misteri sehingga saya tetap berusaha memberikan kesempatan. Saya berharap bahwa setelah melewati beberapa bab, kebingungan awal ini akan terurai dan cerita akan mulai mengalir dengan lebih lancar. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Alur cerita bergerak dengan ritme yang sangat lambat, sering kali mengulur-ulur tanpa ada perkembangan berarti. Saya sempat bertanya-tanya apakah ini adalah teknik yang sengaja digunakan penulis untuk menambah rasa misteri, namun lama-kelamaan rasa penasaran itu mulai meredup. Alih-alih dipenuhi dengan kejutan yang membuat saya ingin membalik halaman berikutnya, yang saya rasakan justru adalah kejenuhan. Plot yang lamban, dialog yang berkepanjangan, dan deskripsi yang seolah berputar di tempat membuat saya merasa terperangkap dalam sebuah cerita yang berjalan di tempat. 
 
Saya juga merasakan bahwa fokus cerita ini terlalu banyak diberikan pada aspek kejahatan dan kekerasan seksual, terutama terhadap wanita, yang digambarkan dengan sangat eksplisit dan brutal. Alih-alih fokus pada unsur thriller yang menegangkan, cerita ini justru lebih banyak menampilkan adegan-adegan siksaan yang tidak manusiawi terhadap wanita. Beberapa adegan terasa terlalu berlebihan, menimbulkan rasa mual dan ketidaknyamanan yang cukup mendalam. Hal ini bukan saja membuat saya merasa tidak nyaman, tetapi juga semakin membuat saya kehilangan energi untuk terus melanjutkan pembacaan. 
 
Kemudian, ada usaha dari penulis untuk menciptakan momen-momen kejutan, seakan ingin membawa pembaca ke puncak ketegangan dengan hal yang mengejutkan. Sayangnya, bagi saya, momen-momen ini terasa kurang efektif. Ketegangan yang diharapkan tidak benar-benar tercapai. Kejutan-kejutan yang ada hanya memberikan sedikit guncangan, tanpa meninggalkan kesan mendalam. Saya mendapati diri berharap pada setiap akhir bab akan ada sesuatu yang membuat saya tersentak, namun sampai akhir cerita, saya tak pernah menemui momen itu. Bahkan, ketika cerita mencapai klimaksnya, saya merasa bahwa penyelesaiannya datar dan antiklimaks, tidak memberikan resolusi yang memuaskan. 
 
Pada akhirnya, setelah menutup buku ini, saya merasa seolah baru saja melewati sebuah perjalanan yang panjang dan melelahkan, tanpa ada satu pun pemandangan yang menawan. Buku Putri-Putri Cantikku (Pretty Girls) karya Karin Slaughter, bagi saya, tidak memberikan kesan yang kuat atau menggugah, hanya meninggalkan rasa lelah dan sedikit kecewa. Mungkin saya akan mencoba karya Karin Slaughter yang lain di masa mendatang, dengan harapan bahwa buku berikutnya akan lebih baik, lebih terarah, dan lebih mampu menghidupkan kembali semangat saya dalam menikmati genre thriller.

Expand filter menu Content Warnings
CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E by Henny Triskaidekaman

Go to review page

adventurous challenging dark funny mysterious reflective sad tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0

Diktator, wahai pembaca yang budiman, adalah sebuah lakon buruk yang dimainkan di panggung kekuasaan, namun namanya kerap disebut-sebut di seantero negeri—baik dengan bisik-bisik ketakutan maupun serapah yang disembunyikan. Bagai tangan besi yang terbalut sarung sutra, mengangkat dirinya menjadi penguasa mutlak, dan segala kehendak rakyat dianggapnya tiada lebih dari gumaman angin yang tiada berarti. 
 
Inilah yang dialami rakyat Wiranacita saat sang diktator, Zaliman Yang Mulia, menegakkan tahtanya. Dalam sekejap, kehidupan mereka berubah menjadi penuh ketidakpastian. Dengan sikap yang sekeras es dan penuh ketamakan, Zaliman mengeluarkan titah yang tak terduga. Setiap kata yang diucapkan harus tunduk pada aturan ketat, buku-buku pilihan disortir laksana barang haram, dan kamus—sebagai peti simpanan kata-kata—diganti demi melanggengkan kehendak kuasa. Seakan-akan, tirani ini tidak sekadar mencabut hak untuk berbicara, melainkan juga menghapus jejak-jejak yang mendefinisikan siapa mereka. 
 
Namun, di balik segala larangan dan titah yang membungkam suara rakyat, terpendam kisah-kisah rahasia yang menyentakkan. Adakah suatu saat, lentera kebenaran akan menerobos kegelapan yang membungkam rahasia-rahasia ini? 
 
 
Buku CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E karya Henny Triskaidekaman adalah sebuah karya yang termasuk dalam genre distopia, sebuah genre yang menampilkan pandangan tentang dunia yang suram dan mencekam. Dalam meneliti genre ini, beberapa sumber menyatakan bahwa istilah distopia menggambarkan masyarakat yang tertindas oleh kemiskinan, penderitaan, dan penindasan yang meluas. Karya-karya dalam genre ini sering kali mengeksplorasi bagaimana struktur sosial dan politik bisa merosot hingga mencapai titik keputusasaan yang mendalam. 
 
Dunia yang digambarkan dalam sastra distopia merupakan cermin dari potensi kehancuran yang mungkin terjadi apabila kekuasaan disalahgunakan atau kemajuan teknologi digunakan untuk menindas. Buku ini, dengan tajam dan jelas, mencerminkan gambaran suram tentang bagaimana keadaan masyarakat dapat runtuh dalam cengkeraman kekuasaan yang tidak adil. Ketika membaca Buku CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E, saya merasakan bahwa pesan yang ingin disampaikan begitu mendalam dan sangat relevan, mengingat keadaan yang telah dan sedang berlangsung di berbagai penjuru dunia, dari masa lampau hingga saat ini. 
 
Buku ini, dalam narasinya yang penuh ketegangan dan refleksi, seolah mengundang pembaca untuk membuka mata lebar-lebar terhadap kenyataan bahwa apa yang terjadi dalam kisah tersebut tidak hanya merupakan imajinasi belaka, melainkan juga sebuah cermin dari potensi nyata yang mungkin tengah berlangsung di dunia kita. Pesan tersebut begitu tajam dan tepat sasaran, menegaskan bahwa ancaman seperti itu dapat mengancam kita setiap saat, jika kita tidak berhati-hati dalam mengawasi dan mengatur kekuasaan serta teknologi di tangan kita. 
 
Setelah menguraikan keunikan genre distopia yang membentuk latar belakang CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E, marilah kita telaah dengan seksama bagaimana penulis, Henny Triskaidekaman, mengekspresikan kedalaman dan kematangan dalam karya ini. 
 
Saya merasakan betapa Triskaidekaman dengan penuh keahlian dan ketelitian membangun dunia di dalam buku ini. Setiap rincian, dari yang paling kecil hingga yang paling besar, diciptakan dengan cermat dan teliti, sehingga menciptakan suasana yang sangat hidup dan nyata. Selain itu, karya ini juga memperkenalkan kita pada teknik lipogram, sebuah bentuk seni dalam penulisan yang memerlukan penulis untuk menghindari penggunaan huruf tertentu. Dalam CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E, huruf yang harus dijauhi adalah huruf E, yang dalam bahasa kita merupakan huruf yang sangat lazim. Teknik ini menambahkan lapisan keunikan dan kreativitas yang luar biasa pada buku ini, menyoroti keterampilan penulis dalam menyusun kalimat dengan batasan yang ketat. Keberadaan teknik lipogram ini membuat buku CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E bersinar dengan keistimewaan tersendiri. 
 
Namun demikian, seperti halnya karya-karya lainnya, buku ini juga memiliki beberapa hal yang patut dicermati. Sebab dunia dalam CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E dibangun dari awal, pembaca mungkin merasa memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan segala aspek baru yang disajikan. Rasa asing terhadap latar dan cerita yang dihadapi bisa menjadi tantangan tersendiri. Lebih jauh lagi, penggunaan sudut pandang dari berbagai tokoh serta alur cerita yang padat menuntut konsentrasi ekstra agar pembaca tidak kehilangan arah di dalam narasi yang kompleks. 
 
Di balik segala kekurangan yang mungkin ada, saya menemukan kepuasan mendalam saat menyelami buku CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E. Pilihan bahasa yang dipergunakan oleh penulis, Henny Triskaidekaman, mengalir dengan ketegasan dan keindahan yang memikat, menghadirkan kesan yang tidak mudah dilupakan. Lebih jauh lagi, kejutan-kejutan yang menghiasi sepanjang cerita menambah daya tarik yang tak terduga. Setiap perubahan dan liku dalam narasi memandu pembaca dalam perjalanan yang penuh dengan penemuan baru. 
 
Dalam pandangan saya, CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E karya Henny Triskaidekaman menghadirkan wawasan dan nilai yang mendalam. Buku ini layak untuk diterima dan dipahami oleh setiap pembaca yang mencari pemahaman tentang kepemimpinan dan dinamika masyarakat. Lebih dari sekadar hiburan, karya ini mengundang pembaca untuk merenungkan nasib bangsa kita, seandainya dipimpin oleh sosok seperti yang tergambar dalam buku ini. Dengan segala kelebihan dan tantangannya, buku ini bukan hanya menyentuh hati, tetapi juga membangkitkan pemikiran mendalam tentang masa depan kita sebagai sebuah bangsa. 

Expand filter menu Content Warnings
Cursed Bunny by Bora Chung

Go to review page

dark emotional mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

4.0

I can’t deny that my first encounter with this book came through the buzz from countless voices repeatedly mentioning its title. They insisted it was a unique read, something to experience at least once in a lifetime. Intrigued, I decided to plunge into Bora Chung’s Cursed Bunny
 
Cursed Bunny is an audacious exploration that defies conventional genre boundaries and highlights the brilliance of this Korean author. Bora Chung skillfully intertwines elements of magical realism, horror, and science fiction, tackling themes of patriarchy and social issues in an extraordinarily bold way. Her approach is fearless, revealing even the smallest horrors without hesitation. Consequently, readers often find themselves pausing to catch their breath or taking time to fully digest the profound narratives. 
 
This anthology features ten intricately woven stories, each layered with complexity that might leave readers pondering their deeper meanings. As such, multiple readings are essential to unravel the rich tapestry of messages embedded within. What’s particularly fascinating is that each reader can interpret these stories through their own lens, which, in my view, is one of the book’s greatest strengths, prompting critical thought and deeper reflection. 
 
Next, I’d like to offer a glimpse into a few of the stories within Cursed Bunny. If you’re wary of spoilers, feel free to skip this part. 
 
In the first short story titled “The Head”, I found myself deeply moved and empathetic toward the main character, a woman burdened with overwhelming emotional weight. The narrative begins with her discovery of a ‘head’ that continues to haunt her. When she seeks help from those close to her, they merely suggest she forget about the head as long as it doesn’t disturb her. However, this head seems to serve as a metaphor for the emotional burdens and loneliness she experiences.

 
The appearance of the head coincides with significant moments in her life: as she steps into adulthood, begins her married life, when her child is born, and during the solitude of her old age. Each manifestation of the head marks a moment when she feels most vulnerable and isolated.
 
I perceive that the moment the head ultimately takes over her life is when she can no longer bear the weight of her loneliness. She becomes trapped in a profound cycle of solitude, represented by the head. However, this is merely my personal interpretation. I would love to hear other perspectives on this story if anyone has them.
 
 
The second short story, titled “The Embodiment”, also places a special emphasis on the female experience. Through a narrative that explores various aspects such as menstruation, contraception, pregnancy, aspirations, marriage, and even miscarriage, the author seems intent on conveying a profound message. Each of these elements is not merely a detail of life but a representation of the complexities and challenges women face throughout their lives.
 
In this story, it appears that the author aims to depict the intricacies of women’s lives. Menstruation, pregnancy, the use of contraceptives, and various societal expectations become burdens they must bear. Reflecting on how women navigate these biological processes—from menstruation to pregnancy—and the necessity of using contraception to manage their lives feels incredibly harsh and unjust.
 
Notably, the author embeds this social critique in sharp satire. The notion that taking too many contraceptive pills could lead to pregnancy is a brilliant twist. It underscores the irony and absurdity of the pressures women face regarding their own bodies. Through this satire, the author effectively critiques a society that often overlooks the burdens women endure, making the story not only engaging but also deeply reflective.
 
 
Meanwhile, the short stories “Cursed Bunny” and “Scars” focus more on the theme of revenge. Both narratives delve deeply into how revenge is a never-ending cycle that only brings suffering. The author illustrates that while revenge may provide fleeting satisfaction, it ultimately hurts the perpetrator and creates an unending cycle of hatred.
 
 
On the other hand, the stories “Snare” and “Ruler of the Winds and Sands” emphasize the theme of human greed. In these stories, the author clearly shows how greed can destroy a person’s life. Characters ensnared by their own avarice ultimately meet their downfall due to unchecked ambition, imparting the lesson that greed will consume us from within.
 
 
The author also introduces a tense horror element in “The Frozen Finger”. This story is filled with a chilling atmosphere and haunting sensations, adding thematic variety to the collection. Additionally, “Home Sweet Home” presents the story of a lonely woman who experiences betrayal, depicting profound feelings of isolation and disappointment.
 
 
The stories “Goodbye, My Love” and “Reunion” intertwine themes of loneliness and solitude. The author skillfully explores how these characters grapple with the shackles of their isolation. Loneliness becomes a strong thread running through these narratives, providing a deep emotional resonance for readers.


I had the pleasure of reading Cursed Bunny in its English translation by Anton Hur. From start to finish, the narrative flowed seamlessly, and I encountered no significant difficulties in grasping the stories. Anton Hur’s translation is nothing short of masterful; he meticulously preserves the nuances and intensity of Bora Chung’s original prose. His skillful translation ensures that the unique voice and unsettling atmosphere of each story resonate deeply with readers. 
 
Overall, the short stories in this collection emphasize themes related to women and complex social issues. The author skillfully captures various aspects of life, from revenge to loneliness and the unchecked greed of humanity. Each story encourages readers to reflect on the social and emotional realities faced by the characters, making this book both thought-provoking and captivating. For anyone seeking a bold and unique narrative, Cursed Bunny by Bora Chung is an excellent choice. 

Expand filter menu Content Warnings
Fantasteen Scary: Teru Teru Bozu by Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Go to review page

dark emotional mysterious sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

3.0

Apakah kamu pernah mendengar tentang teru teru bozu? Boneka tradisional Jepang ini, dibuat dari kertas atau kain putih dan digantung di tepi jendela dengan benang, memiliki sejarah yang menarik. Pada zaman Edo, anak-anak dengan penuh harapan membuat teru teru bozu sambil bernyanyi, memohon agar cuaca cerah keesokan harinya.

Namun, pernahkah kamu membayangkan kisah menyeramkan yang tersembunyi di balik teru teru bozu? Lupakan sekadar boneka pengusir hujan yang biasa kamu kenal. Di dalam buku ini, teru teru bozu menjadi simbol kengerian yang menuntut nyawa. Bayangkan, di balik kain putih yang berkibar, tersembunyi sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada kertas atau kain perca.

Beranikah kamu membaca buku ini hingga akhir, mengetahui bahwa setiap lembar membawa ancaman yang lebih menakutkan dari sebelumnya?


Teru Teru Bozu karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie adalah salah satu buku dari seri Fantasteen yang telah saya tamatkan dengan penuh antusias. Dalam buku ini, saya dibawa menikmati petualangan cerita dengan latar tempat dan budaya Jepang yang sangat kuat dan autentik. Ziggy berhasil membangun suasana yang kaya akan detail, membawa pembaca langsung ke jantung kehidupan sehari-hari di Jepang dengan segala tradisinya.

Cerita ini berpusat pada kehidupan anak-anak sekolah, yang melalui sudut pandang mereka, kita diajak menyusuri berbagai peristiwa misterius dan menegangkan. Gaya penulisan Ziggy membuat saya dengan mudah mengikuti alur cerita dan terhanyut dalam setiap kejadian. Saya sangat mengapresiasi bagaimana Ziggy menyelipkan elemen-elemen kejutan yang membuat pembaca terus penasaran tentang bagaimana kisah ini akan berakhir.

Namun, meskipun saya sangat menikmati buku ini, ada beberapa kekurangan yang saya rasakan. Ada bagian-bagian di mana hubungan antara tokoh dan kejadian terasa kurang jelas dan sedikit membingungkan. Beberapa interaksi dan latar belakang karakter terasa belum sepenuhnya terjelaskan, membuat saya harus berpikir keras untuk memahami kaitannya dengan plot utama.

Meski demikian, secara keseluruhan, saya sangat menikmati buku Teru Teru Bozu karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Akhir cerita yang penuh ketegangan sukses membuat saya merinding dan meninggalkan kesan yang cukup mendalam. Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie sekali lagi membuktikan kemampuannya dalam menulis cerita yang tidak hanya menarik tetapi juga penuh misteri, membuat pembaca tidak sabar menunggu karya-karya berikutnya.

Expand filter menu Content Warnings
Perjamuan Khong Guan by Joko Pinurbo

Go to review page

challenging emotional funny lighthearted mysterious reflective sad fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

3.0

Buku Perjamuan Khong Guan merupakan karya kedua yang saya telusuri dari pena Joko Pinurbo. Sebagaimana buku Celana yang telah saya nikmati sebelumnya, buku ini juga mempersembahkan kumpulan puisi-puisi dari Joko Pinurbo. Dalam setiap bait puisinya, terdapat sentuhan yang mencerminkan keberagaman aspek kehidupan, dari yang berkaitan dengan agama hingga budaya, yang disajikan dengan penuh keahlian dan kedalaman pikiran sang penyair.

Keunikan buku ini terpatri dalam pembagian puisi-puisinya ke dalam empat bagian yang disebut ‘kaleng’, sebuah istilah yang membawa kita dalam perenungan mendalam akan makna yang terkandung di baliknya. Seolah menyuguhkan perjamuan bagi jiwa yang haus akan keindahan kata-kata, kaleng-kaleng tersebut menghidangkan puisi-puisi dengan ragam rasa dan aroma yang menggoda. Dalam setiap kaleng, kita diundang untuk menjelajahi ranah yang berbeda, tetapi tetap terkait dalam kesatuan yang harmonis, sebagaimana sebuah perjamuan yang menyatukan beragam cita rasa dalam satu meja.

Tidak dapat disangkal bahwa judul buku ini, Perjamuan Khong Guan, mengundang perenungan akan hubungan erat antara puisi dengan produk ikonik biskuit Khong Guan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Khong Guan adalah sebuah perusahaan yang menjelma menjadi raksasa dalam skala internasional, mengukir namanya dalam industri makanan, khususnya produk biskuit dan wafer. Tentu saja, yang paling legendaris adalah kehadiran biskuit Khong Guan dalam kemasan kaleng.

Kemasan kaleng ini tidak hanya menjadi wadah untuk menyimpan produk, tetapi juga menjadi wadah untuk mengumpulkan sejuta kenangan dan cerita di setiap sudutnya. Di sisi kaleng, terpampang dengan anggun potret keluarga yang sedang bersama di meja makan: seorang ibu dan dua anaknya. Gambar ini sungguh menarik perhatian, karena begitu mirip dengan sampul depan dari buku Perjamuan Khong Guan ini. Seolah menjadi jendela ke dalam isi buku, potret ini membawa kita pada perjalanan yang menggugah hati dan menghidupkan kembali kenangan-kenangan yang terpendam dalam setiap kaleng biskuit Khong Guan.

Puisi-puisi dalam buku Perjamuan Khong Guan memang menawarkan sejumlah kekhasan yang memikat hati pembaca. Khususnya, bagi saya, bagian “Kaleng Tiga” menjadi daya tarik tersendiri karena seluruhnya mengisahkan perjalanan hidup seorang tokoh bernama Minnah. Dari awal kehadiran Minnah di dunia, dengan segala haru bahagia dalam “Lahirnya Minnah”, hingga berbagai liku-liku yang dihadapinya dalam “Demam Minnah”, setiap bait puisi membawa kita pada sebuah perjalanan emosional yang mendalam.

Namun, dalam membandingkan puisi-puisi dalam buku Perjamuan Khong Guan dengan karya sebelumnya seperti buku Celana, saya melihat sebuah perbedaan yang cukup mencolok. Puisi-puisi dalam Perjamuan Khong Guan cenderung lebih singkat dan padat, mempersembahkan makna dalam ruang yang lebih terbatas. Hal ini menjadi pertimbangan bagi saya, yang lebih menggemari puisi yang mengalir dalam panjang dan mendalam.

Namun demikian, saya sadar bahwa kecenderungan dalam menikmati puisi adalah hal yang sangat subjektif. Setiap pembaca memiliki selera dan keunikan masing-masing. Bagi beberapa orang, puisi yang singkat dan langsung pada intinya mungkin lebih memikat, sementara bagi yang lain, keindahan puisi terletak pada kemampuannya untuk mengalir dalam aliran yang panjang dan mendalam. Keberagaman dalam kesenian adalah sebuah keniscayaan, dan perbedaan pandangan hanya menambah kekayaan dalam dunia sastra yang penuh warna.

Tidak tersembunyi bahwa kesenangan melanda diri saya saat menjelajahi halaman-halaman buku Perjamuan Khong Guan yang tercipta dari pena Joko Pinurbo. Saya terpesona oleh kemampuan sang penyair dalam memilih kata-kata yang luar biasa kreatif, menghiasai setiap baris dengan keindahan yang memikat hati dan menyentuh jiwa.

Hal yang mengagumkan lainnya adalah variasi nada dalam puisi-puisi ini. Dari bait yang menghanyutkan dalam suasana serius, hingga sindiran yang menggoda senyum, bahkan hingga humor yang membuat hati riang. Sungguh, keberagaman ini menciptakan sebuah pertunjukan sastra yang memikat, mengajak pembaca untuk merasakan segala nuansa emosi yang terpancar dari setiap rangkaian kata. Bagi siapa pun yang ingin menggali keindahan dan kedalaman puisi karya Joko Pinurbo, buku Perjamuan Khong Guan adalah pilihan yang tepat.
The War that Saved My Life by Kimberly Brubaker Bradley

Go to review page

adventurous challenging dark emotional mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? No

5.0

Di jantung kota London yang sesak pada tahun 1939, terdapat seorang gadis kecil bernama Ada Maria Smith. Terperangkap dalam ruang sempit dan gelap, Ada hanya bisa merindukan dunia luar melalui jendela yang terbuka lebar, sementara adik lelakinya, Jamie, dengan bebasnya menari-nari di bawah sinar matahari dan menghirup udara segar yang terasa begitu jauh dari jangkauannya. Semua ini karena ibunya enggan memiliki anak seperti Ada, hanya karena kaki pekuknya. Perbedaan itu merenggut paksa kebebasannya.

Namun, kehidupannya terguncang oleh getaran perang saat pesawat Jerman mulai menjatuhkan bom yang mengancam keamanan mereka. Di tengah kekacauan perang yang melanda, Ada harus menemukan keberanian untuk melangkah ke dunia yang tidak pasti di luar sana. Tapi, sebelum dia bisa menghadapi ketidakpastian itu, ada satu rintangan mendasar yang harus dia taklukkan: belajar berjalan. Bisakah dia menggunakan kakinya untuk berjalan?

The War that Saved My Life karya Kimberly Brubaker Bradley membawa pembaca untuk menjelajahi perjalanan hidup seorang gadis kecil yang berani bernama Ada Maria Smith, di tengah-tengah gemuruh tahun 1939 saat awal Perang Dunia II. Dengan latar belakang genre sejarah fiksi, buku ini tidak sekadar cerita perang, tetapi menggali lebih jauh ke dalam perjuangan dan trauma yang dialami tokoh utamanya.

Ada, gadis kecil yang dilahirkan dengan keunikan fisik yang mencolok—kaki pekuk, terperangkap dalam dunia gelap dan penuh penyiksaan yang diciptakan oleh ibunya sendiri. Dipermalukan dan dihukum tanpa ampun, Ada tumbuh dalam lingkungan yang memupuskan segala harapan dan kepercayaan dirinya. Kehidupannya yang terbatas bahkan menghalangi kemampuannya untuk belajar berjalan, memaksa dirinya merangkak dan hanya bisa mengintip dunia luar melalui jendela.

Di tengah kekacauan perang yang semakin meluas, ketika pesawat Jerman mengguncang langit London dengan ancaman bom, takdir Ada semakin tidak pasti. Akankah ibunya memasukkan nama Ada dalam evakuasi bersama adiknya, Jamie, ataukah membiarkannya terperangkap dalam bahaya di rumah yang selama ini menjadi penjara batinnya?

Namun, sinar harapan mulai muncul ketika keinginan akan kebebasan tumbuh dalam diri Ada. Dengan keyakinan bahwa mungkin ibunya akan berubah ketika dia bisa berjalan, dia memulai perjalanan menuju keberanian dengan belajar berjalan.

Saya sangat terkesan dengan pengalaman membaca buku The War that Saved My Life. Setiap baris narasi mampu menangkap perhatian saya dengan kuat, membawa saya ke dalam aliran peristiwa yang menyentuh dan mendalam. Yang paling menarik adalah bagaimana perjalanan hidup Ada dan Jamie dimulai, dan pertemuan mereka dengan Susan memberikan sentuhan emosional yang luar biasa.

Kesedihan yang menyayat hati mewarnai kisah mereka, terutama saat mereka berhadapan dengan dunia luar yang begitu asing bagi mereka. Meskipun dihadapkan dengan kebaikan, ketakutan yang tumbuh akibat perlakuan buruk ibu mereka membuat mereka ragu menerima bantuan. Bagi Ada, perjuangan melawan trauma dan rasa terkekang menjadi medan pertempuran internal yang memilukan, dan saya merasakan betapa dalamnya perjuangan batin yang dia alami.

Meskipun ada saat-saat di mana saya merasa kesal dengan sikap Ada terhadap Susan, saya menyadari bahwa responsnya itu tidak terlepas dari luka batin dan trauma yang mendalam yang telah dialaminya. Namun, dalam hal ini, saya sangat menghargai keteguhan hati Susan yang tak pernah luntur, bahkan dihadapkan pada sikap dingin dan ketidakpercayaan dari Ada. Keberaniannya untuk tetap mendekati dan memberikan bantuan kepada mereka menunjukkan ketulusan dan kebaikan hati yang luar biasa.

Tidak hanya itu, saya juga ingin menyoroti kehebatan dalam penerjemahan karya ini ke dalam bahasa Indonesia oleh Maicel Andrea. Pemilihan kata-katanya sangat tepat dan mengena, sehingga mampu menyampaikan esensi dan nuansa cerita aslinya dengan baik. Kemampuan untuk mempertahankan keindahan dan kedalaman cerita asli merupakan pencapaian yang patut diacungi jempol.

Secara keseluruhan, pengalaman membaca buku ini sungguhlah luar biasa. Setiap halaman mampu menghadirkan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Bagi siapa pun yang mencari pengalaman membaca yang mendalam dan memikat secara emosional, The War that Saved My Life karya Kimberly Brubaker Bradley adalah pilihan yang patut untuk dipertimbangkan. Dengan alur cerita yang menarik dan karakter yang kuat, buku ini memberikan pelajaran tentang keberanian, kekuatan keluarga, dan arti sejati dari kebebasan.

Expand filter menu Content Warnings
Fantasteen: Lucid Dream by Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Go to review page

adventurous challenging dark funny mysterious reflective sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0

Nadine merasa seperti terjebak dalam skenario film horor hidup ketika serangkaian kejadian misterius mulai mengelilinginya pasca kejadian tragis itu. Alih-alih menjadi teman seperjuangan, reaksi teman-temannya justru mengejutkan: mereka menjauh dan meninggalkannya dengan stigma sebagai si sinting Nadine. Paradoksnya, kehidupan sosialnya yang nyata jauh lebih menakutkan dibandingkan dengan makhluk gaib yang kini mulai menampakkan diri di kehidupan Nadine.

Namun, takdir berputar ketika keluarganya memutuskan untuk pindah, membawa Nadine ke sebuah kota baru dengan kejutan yang lebih besar. Di sana, dia bertemu Chris—orang yang tak hanya memiliki keunikan serupa dengannya, tapi juga kemampuan supernatural yang lebih dahsyat.

Didorong oleh rasa penasaran dan tekad yang kuat, Nadine dan Chris memulai perjalanan penuh tantangan untuk mengungkap rahasia di balik keanehan yang mereka miliki. Namun, apa yang mereka temukan justru membawa mereka ke dunia yang lebih gelap dan berbahaya. Di tengah pencarian mereka, makhluk halus berbahaya menunggu di setiap sudut, dan tentunya dengan niat yang tidak ramah. Akankah mereka berhasil memecahkan misteri ini, ataukah mereka akan terjebak dalam kegelapan selamanya?

Fantasteen: Lucid Dream karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie adalah sebuah karya yang menakjubkan, berhasil menarik perhatian saya sejak halaman pertama. Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie berhasil menciptakan sebuah alur cerita yang memikat dengan gaya bahasa yang unik, segar, dan sangat mudah dipahami. Kata-kata yang digunakan terasa begitu hidup, mengalir dengan alami dan menarik pembaca untuk tenggelam lebih dalam ke dalam cerita.

Buku ini berhasil menciptakan atmosfer yang begitu mendalam, sehingga saya merasa sulit untuk meletakkan buku ini bahkan hanya untuk sejenak. Setiap bab, setiap adegan, dan setiap dialog di dalamnya memiliki daya tarik tersendiri, membuat saya ingin terus meneruskan perjalanan membaca hingga menemukan akhir cerita yang memuaskan. Rasanya seperti berada dalam sebuah mimpi yang begitu nyata, di mana waktu berlalu begitu cepat dan Anda tidak ingin bangun.

Selain itu, buku ini juga sangat cocok bagi mereka yang mencari bacaan yang dapat dinikmati dalam sekali duduk. Alurnya yang cepat dan penuh dengan twist membuat pembaca tidak dapat berhenti mengikuti setiap petualangan yang dihadapi oleh tokoh utamanya. Setiap halaman penuh dengan kejutan, misteri, dan pertarungan antara realitas dan imajinasi.

Buku ini menawarkan nuansa yang berbeda dari karya-karya lokal kebanyakan. Dalam Fantasteen: Lucid Dream, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie berhasil menciptakan sebuah atmosfer yang begitu internasional, meskipun buku ini adalah karya orisinal Indonesia. Setiap elemen, mulai dari tokoh, latar, hingga plot cerita, dirancang dengan sangat mendetail dan otentik, menampilkan kualitas yang sering kali kita temukan dalam buku-buku terjemahan. Namun, yang menarik adalah fakta bahwa buku ini bukanlah hasil terjemahan, melainkan benar-benar karya asli dari seorang penulis Indonesia yang berbakat.

Keunikan ini, menurut saya, adalah salah satu daya tarik utama dari buku ini. Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie tampaknya memiliki keahlian khusus dalam menciptakan narasi yang bisa menembus batas-batas kultural, sehingga dapat dinikmati oleh pembaca dari berbagai latar belakang. Hal ini saya temukan juga dalam karya lainnya, seperti My Name is Luca: Gadis Kecil yang Dicintai Kegelapan, yang menampilkan nuansa yang mirip dengan buku-buku terjemahan, namun tetap mempertahankan esensi khas dari karya-karya lokal.

Dengan label Fantasteen, yang merupakan kumpulan novel bertema fantasi dan horor yang spesifik ditujukan untuk remaja berusia 13 hingga 18 tahun, buku ini memang ditargetkan untuk menghentak jiwa para pembaca muda. Namun, menurut saya, daya tarik buku ini tidak hanya terbatas pada kalangan remaja saja; buku ini mampu memikat hati pembaca dari berbagai usia.

Gaya bahasa yang digunakan dalam buku ini begitu segar, dinamis, dan penuh energi, menghidupkan setiap halaman dengan cerita yang memukau. Pembaca akan terbawa dalam aliran cerita yang cepat, tanpa jeda yang membosankan. Plot cerita yang menegangkan dan penuh aksi berhasil diselipkan dengan sempurna dengan elemen-elemen fantasi dan horor yang memikat, menciptakan sebuah kombinasi yang memikat dan memastikan bahwa pembaca akan terus berada di tepi kursi mereka.

Saat saya memulai petualangan membaca Fantasteen: Lucid Dream, saya sama sekali tidak memiliki ekspektasi apa yang akan saya temui. Namun, begitu saya mulai menyelami alur cerita, saya disambut oleh sebuah dunia yang begitu unik dan mengejutkan. Kreativitas dan imajinasi penulis benar-benar membuat saya terperangah. Setiap halaman penuh dengan kejutan, dan bahkan hingga ke titik terakhir, buku ini berhasil mempertahankan momentum ketegangan dan kejutan, memastikan pembaca terus terlibat dan terhibur.

Sebagai seorang pembaca, saya benar-benar menikmati setiap momen dalam buku ini dan merasa terhubung emosional dengan karakter serta alur cerita yang ditampilkan. Oleh karena itu, bagi siapa saja yang mencari petualangan literasi yang menarik, inovatif, dan penuh kejutan, saya sangat merekomendasikan Fantasteen: Lucid Dream.

Expand filter menu Content Warnings
Saha Mansion by Cho Nam-joo

Go to review page

adventurous challenging dark emotional mysterious reflective sad slow-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

2.0

Di kota-negara misterius bernama Town, tujuh menteri tanpa wajah mengendalikan segala hal, namun siapa mereka sebenarnya tetap menjadi rahasia. Ada tiga kelas masyarakat: L—atau yang sering disebut Warga—yang kaya dan berpengetahuan, L2 yang hanya memiliki izin tinggal sementara, dan Saha, golongan yang tak diakui—termasuk imigran gelap, difabel, korban kekerasan, dan kemiskinan.

Ketika seorang dokter wanita terhormat ditemukan tewas dengan tanda-tanda kelebihan obat dan pelecehan, mata publik langsung tertuju pada tersangka dari golongan Saha. Namun, apakah benar dia pelakunya?

Di tengah kabut misteri yang menyelimuti kota-negara Town, penghuni Saha Mansion mulai menghilang satu per satu, meninggalkan kekosongan dan pertanyaan yang tak terjawab. Setiap kali seseorang menghilang, suasana Saha Mansion menjadi semakin tegang, rasa takut dan kecurigaan merajalela di antara penghuni. Dengan setiap petunjuk yang muncul dan setiap rahasia yang terungkap, kota-negara Town semakin terperangkap dalam lingkaran misteri yang tak kunjung selesai. Apa sebenarnya rahasia yang tersembunyi di balik dinding-dinding misterius Town yang tak bisa ditembus?

Saha Mansion karya Cho Nam-Joo memulai perjalanan dengan wara yang sangat menjanjikan, menggoda pembaca dengan janji misteri yang mendalam dan memikat. Sebagai penggemar genre misteri, saya tak bisa menolak untuk menyelami cerita ini dengan harapan menemukan teka-teki yang rumit dan memikat. Namun, seiring berjalannya cerita, saya mulai merasa bahwa misteri yang dijanjikan tidak sekompleks atau seintensif yang saya harapkan.

Awalnya, saya berharap bahwa buku ini akan menyajikan investigasi mendalam terhadap sebuah kasus pembunuhan yang misterius, memecahkan teka-teki yang tersembunyi di balik dinding-dinding Saha Mansion. Namun, harapan saya berubah ketika saya mulai tenggelam dalam alur cerita yang sebenarnya lebih fokus pada pengembangan karakter dan dinamika sosial, bukan pada misteri yang dijanjikan. Saya merasa seperti sedang diundang ke sebuah pesta misteri, tetapi yang saya temukan adalah sebuah kehidupan yang kompleks.

Meskipun ada pengungkapan mengejutkan tentang nasib penghuni Saha Mansion, cerita tersebut belum sepenuhnya berhasil memikat imajinasi saya. Meski beberapa bagian cerita berhasil menarik perhatian, ada segmen lain yang kurang memadai, menurunkan ritme narasi dan membuatnya terasa monoton.

Buku ini memang lebih berfokus pada genre distopia daripada misteri, menawarkan sebuah dunia yang kompleks dan penuh dengan ketegangan di kota-negara Town, tepatnya di Saha Mansion. Saya harus mengakui bahwa penulis berhasil menciptakan sebuah dunia distopia yang kaya dan penuh konflik. Namun, kekayaan tersebut tampaknya belum dieksplorasi sepenuhnya, meninggalkan ruang kosong dan kekecewaan bagi pembaca yang berharap menemukan lebih banyak lapisan misteri dan kompleksitas dalam cerita.

Dengan latar belakang dunia distopia yang rumit ini, penulis dihadapkan pada tugas berat untuk menjelaskan berbagai aspek cerita, menghasilkan narasi yang padat dan terkadang membingungkan. Ini adalah sebuah dilema, di mana upaya untuk membangun dunia yang kaya sering kali bertentangan dengan kebutuhan untuk menjaga kelancaran dan keterbacaan narasi.

Selain itu, kehadiran banyak tokoh dengan hubungan antartokoh yang kompleks menjadi tantangan tersendiri. Saya sering kali merasa terjebak dalam labirin karakter-karakter yang saling terkait namun sulit untuk mengikuti alur cerita, mengurangi intensitas rasa penasaran saya selama membaca. Saya merasa kesulitan untuk menemukan benang merah yang menghubungkan setiap karakter, membuat saya terjebak dalam ketidakpastian dan kebingungan.

Menuju akhir cerita, saya merasa seperti tersesat dalam labirin kata-kata dan plot yang rumit. Kebingungan saya meningkat dengan setiap halaman yang saya baca, membuat saya bertanya-tanya apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh penulis. Saat saya mencapai penutup, rasa kecewa melanda, meninggalkan saya dengan rasa penasaran dan frustrasi.

Penutupan cerita ini meninggalkan saya dengan banyak pertanyaan yang menggantung, seperti misteri yang belum terpecahkan. Apa tujuan sebenarnya dari cerita ini? Apa makna mendalam yang ingin disampaikan oleh penulis? Semua ini menantang saya untuk merenung lebih dalam, mencoba mengurai benang kusut dari plot yang rumit ini dan mencari pemahaman yang lebih mendalam. Namun, saat ini saya tetap merasa kecewa dengan bagaimana penulis memilih untuk mengakhiri cerita ini, meninggalkan saya dengan perasaan campur aduk dari frustrasi, kebingungan, dan ketidakpuasan.

Saya berkesempatan membaca versi alih bahasa Indonesia dari buku Saha Mansion yang diterjemahkan oleh Iingliana. Secara keseluruhan, saya menghargai pemilihan kata yang cermat dan penuh perhatian dalam menyajikan narasi yang mendalam.

Menurut saya, alih bahasa memang bukanlah tugas yang mudah, terutama ketika menangani sebuah karya sekompleks Saha Mansion. Alih bahasa bukan hanya soal memindahkan kata dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi juga tentang memahami dan menangkap nuansa, emosi, dan esensi yang ingin disampaikan oleh penulis asli. Iingliana dihadapkan pada tantangan untuk mempertahankan esensi dan kekayaan nuansa dari karya asli, sambil juga memastikan bahwa cerita tetap mudah diikuti dan dipahami oleh pembaca berbahasa Indonesia.

Dalam membaca buku Saha Mansion karya Cho Nam-Joo, saya merasa bahwa buku ini belum sepenuhnya menggugah minat dan mempertahankan ketertarikan saya sepanjang cerita. Kemungkinan besar, ini disebabkan oleh perbedaan selera pribadi saya dengan nuansa dan tema yang diusung oleh buku ini, serta gaya penyampaian narasinya yang mungkin tidak sesuai dengan ekspektasi saya. 

Namun, di balik ketidaksesuaian dengan preferensi pribadi saya, saya mengakui bahwa buku ini memiliki potensi besar untuk menarik pembaca lain yang mencari cerita dengan kedalaman dan kompleksitas yang lebih dari sekadar misteri. Buku ini menawarkan pandangan yang tajam tentang dinamika sosial dan karakter yang kompleks, yang mungkin sangat menggugah bagi mereka yang menyukai cerita dengan nuansa yang lebih mendalam.

Expand filter menu Content Warnings
Ikan Kecil by Ossy Firstan

Go to review page

adventurous challenging emotional funny informative mysterious reflective sad fast-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

4.0

Dalam kehidupan yang penuh tanya, pertanyaan “Kapan hamil?” menghantui pasangan suami-istri, Deas dan Celoisa, selama bertahun-tahun. Senyum adalah satu-satunya jawaban yang mereka miliki, hingga akhirnya sebuah keajaiban terjadi: kehadiran ‘ikan kecil’ di perut Celoisa. Namun, tiba-tiba, bayangan awan hitam menggantikan sinar cerah kehidupan mereka. 

Si ikan kecil ini memiliki dunia sendiri yang sulit dijangkau, menghadirkan tantangan baru dalam kehidupan rumah tangga mereka. Melalui serangkaian tes, apa yang ditemukan membuat mereka terkejut. Dalam perjalanan cinta dan harapan, kita akan diperkenalkan dengan kisah menghangatkan hati dari keluarga kecil ini. Deas dan Celoisa berjuang dengan penuh kasih untuk membesarkan si ikan kecil yang istimewa, yang mengajarkan mereka arti kesabaran dan cinta yang tak terhingga. Temukan keajaiban dan kekuatan yang tersembunyi di balik setiap halangan dalam lembaran-lembaran buku yang memikat ini.


“The only disability in life is a bad attitude.”


Buku Ikan Kecil karya Ossy Firstan menggambarkan kisah mendalam sepasang suami-istri, Deas dan Celoisa, yang sedang menantikan kehadiran buah hati mereka. Dengan gaya bahasa yang santai namun penuh makna, pembaca akan diajak merasakan setiap detik perjalanan emosional kehidupan pernikahan mereka. Buku ini bukan sekadar cerita perjuangan, tetapi juga refleksi tentang kekuatan cinta dalam menghadapi rintangan.

Kehadiran si ikan kecil, atau Olei, yang ternyata terlahir dengan
gangguan spektrum autisme
, menambah kompleksitas dalam perjalanan mereka. Ini bukan hanya tentang bagaimana mereka beradaptasi dengan keistimewaan Olei, tetapi juga tentang bagaimana cinta dan kesabaran menjadi kunci dalam menghadapi setiap tantangan yang muncul.

Tantangan baru muncul ketika Loi, panggilan akrab Celoisa, kesulitan menerima keadaan Olei. Ossy Firstan berhasil menggambarkan dinamika hubungan antara Loi, Deas, dan Olei dengan sangat mendalam. Pembaca akan terbawa emosi, dari rasa kesal ketika melihat sikap Loi yang sulit dimengerti hingga kekaguman pada Deas yang tetap teguh mendukung keluarganya.

Sebagai seorang pembaca, saya terpesona dengan buku ini, baik dari plot yang dirangkai dengan cerdas maupun gaya bahasa yang memikat. Saya dapat dengan mudah memahami setiap nuansa cerita, sehingga terasa seolah-olah saya ikut terhanyut dalam petualangan emosional yang dialami oleh setiap karakter.

Penokohan dalam buku ini disajikan dengan begitu mendalam dan detail, sehingga saya dapat merasakan suasana yang ditampilkan dengan intens. Mulai dari momen lucu yang mengundang tawa, kesenangan yang membuai hati, kesedihan yang meluluhlantakkan, hingga rasa kesal yang sulit untuk disembunyikan.

Salah satu momen yang paling mengesankan adalah saat saya merasa sangat kesal dengan sikap Loi. Keputusan dan tindakan yang dia lakukan seringkali membuat saya geram, membuat saya bertanya-tanya tentang alasan di balik pilihannya. Namun, saat saya mulai merenung lebih dalam, saya menyadari bahwa saya tidak memiliki hak untuk menghakimi perasaannya. Loi adalah sosok yang telah mengalami perjalanan panjang—dia adalah ibu yang telah merasakan kehamilan dan melahirkan Olei, buah hati yang begitu dia nantikan. Meskipun tindakan yang dia lakukan salah, perasaannya adalah bagian dari dirinya yang harus dihargai.

Dalam situasi yang penuh tekanan dan emosi, Deas muncul sebagai pilar kekuatan dan kedamaian. Meskipun dia mungkin juga merasa terbebani oleh situasi yang rumit, Deas menunjukkan kepala dingin dan keteguhan hati yang luar biasa. Tanpa mengabaikan kerentanan dan kesulitan yang dirasakan oleh Loi, Deas berusaha dengan gigih untuk menjadi jembatan yang menyatukan kembali ibu dan anak tersebut.

Keberanian Deas untuk tetap berada di sisi Loi, meskipun dalam keadaan yang sulit, adalah cermin dari cinta sejati dan komitmen yang tak kenal lelah. Ia memahami bahwa cinta bukan hanya tentang saat-saat indah, tetapi juga tentang bagaimana kita menghadapi tantangan bersama dan tumbuh dari pengalaman tersebut.

Ketekunan Deas dalam mendukung Loi dan Olei adalah bukti nyata dari dedikasi seorang ayah dan suami yang ingin melihat keluarganya bahagia dan utuh. Melalui tindakan dan ketulusan Deas, kita dapat belajar tentang arti sejati dari kebersamaan dan pentingnya mendukung satu sama lain dalam setiap situasi kehidupan.

Ikan Kecil karya Ossy Firstan adalah kombinasi sempurna antara cerita ringan dengan tema yang mendalam. Bagi mereka yang mencari bacaan yang menghangatkan hati dan memikat perasaan, saya sangat merekomendasikan buku ini. Buku ini akan membawa pembaca dalam perjalanan emosional yang mengesankan, membuat kita merasakan naik turunnya kehidupan dengan cara yang penuh cinta dan harapan.