Scan barcode
A review by clavishorti
CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E by Henny Triskaidekaman
adventurous
challenging
dark
funny
mysterious
reflective
sad
tense
slow-paced
- Plot- or character-driven? A mix
- Strong character development? It's complicated
- Loveable characters? It's complicated
- Diverse cast of characters? Yes
- Flaws of characters a main focus? It's complicated
5.0
Diktator, wahai pembaca yang budiman, adalah sebuah lakon buruk yang dimainkan di panggung kekuasaan, namun namanya kerap disebut-sebut di seantero negeri—baik dengan bisik-bisik ketakutan maupun serapah yang disembunyikan. Bagai tangan besi yang terbalut sarung sutra, mengangkat dirinya menjadi penguasa mutlak, dan segala kehendak rakyat dianggapnya tiada lebih dari gumaman angin yang tiada berarti.
Inilah yang dialami rakyat Wiranacita saat sang diktator, Zaliman Yang Mulia, menegakkan tahtanya. Dalam sekejap, kehidupan mereka berubah menjadi penuh ketidakpastian. Dengan sikap yang sekeras es dan penuh ketamakan, Zaliman mengeluarkan titah yang tak terduga. Setiap kata yang diucapkan harus tunduk pada aturan ketat, buku-buku pilihan disortir laksana barang haram, dan kamus—sebagai peti simpanan kata-kata—diganti demi melanggengkan kehendak kuasa. Seakan-akan, tirani ini tidak sekadar mencabut hak untuk berbicara, melainkan juga menghapus jejak-jejak yang mendefinisikan siapa mereka.
Namun, di balik segala larangan dan titah yang membungkam suara rakyat, terpendam kisah-kisah rahasia yang menyentakkan. Adakah suatu saat, lentera kebenaran akan menerobos kegelapan yang membungkam rahasia-rahasia ini?
Buku CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E karya Henny Triskaidekaman adalah sebuah karya yang termasuk dalam genre distopia, sebuah genre yang menampilkan pandangan tentang dunia yang suram dan mencekam. Dalam meneliti genre ini, beberapa sumber menyatakan bahwa istilah distopia menggambarkan masyarakat yang tertindas oleh kemiskinan, penderitaan, dan penindasan yang meluas. Karya-karya dalam genre ini sering kali mengeksplorasi bagaimana struktur sosial dan politik bisa merosot hingga mencapai titik keputusasaan yang mendalam.
Dunia yang digambarkan dalam sastra distopia merupakan cermin dari potensi kehancuran yang mungkin terjadi apabila kekuasaan disalahgunakan atau kemajuan teknologi digunakan untuk menindas. Buku ini, dengan tajam dan jelas, mencerminkan gambaran suram tentang bagaimana keadaan masyarakat dapat runtuh dalam cengkeraman kekuasaan yang tidak adil. Ketika membaca Buku CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E, saya merasakan bahwa pesan yang ingin disampaikan begitu mendalam dan sangat relevan, mengingat keadaan yang telah dan sedang berlangsung di berbagai penjuru dunia, dari masa lampau hingga saat ini.
Buku ini, dalam narasinya yang penuh ketegangan dan refleksi, seolah mengundang pembaca untuk membuka mata lebar-lebar terhadap kenyataan bahwa apa yang terjadi dalam kisah tersebut tidak hanya merupakan imajinasi belaka, melainkan juga sebuah cermin dari potensi nyata yang mungkin tengah berlangsung di dunia kita. Pesan tersebut begitu tajam dan tepat sasaran, menegaskan bahwa ancaman seperti itu dapat mengancam kita setiap saat, jika kita tidak berhati-hati dalam mengawasi dan mengatur kekuasaan serta teknologi di tangan kita.
Setelah menguraikan keunikan genre distopia yang membentuk latar belakang CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E, marilah kita telaah dengan seksama bagaimana penulis, Henny Triskaidekaman, mengekspresikan kedalaman dan kematangan dalam karya ini.
Saya merasakan betapa Triskaidekaman dengan penuh keahlian dan ketelitian membangun dunia di dalam buku ini. Setiap rincian, dari yang paling kecil hingga yang paling besar, diciptakan dengan cermat dan teliti, sehingga menciptakan suasana yang sangat hidup dan nyata. Selain itu, karya ini juga memperkenalkan kita pada teknik lipogram, sebuah bentuk seni dalam penulisan yang memerlukan penulis untuk menghindari penggunaan huruf tertentu. Dalam CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E, huruf yang harus dijauhi adalah huruf E, yang dalam bahasa kita merupakan huruf yang sangat lazim. Teknik ini menambahkan lapisan keunikan dan kreativitas yang luar biasa pada buku ini, menyoroti keterampilan penulis dalam menyusun kalimat dengan batasan yang ketat. Keberadaan teknik lipogram ini membuat buku CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E bersinar dengan keistimewaan tersendiri.
Namun demikian, seperti halnya karya-karya lainnya, buku ini juga memiliki beberapa hal yang patut dicermati. Sebab dunia dalam CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E dibangun dari awal, pembaca mungkin merasa memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan segala aspek baru yang disajikan. Rasa asing terhadap latar dan cerita yang dihadapi bisa menjadi tantangan tersendiri. Lebih jauh lagi, penggunaan sudut pandang dari berbagai tokoh serta alur cerita yang padat menuntut konsentrasi ekstra agar pembaca tidak kehilangan arah di dalam narasi yang kompleks.
Di balik segala kekurangan yang mungkin ada, saya menemukan kepuasan mendalam saat menyelami buku CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E. Pilihan bahasa yang dipergunakan oleh penulis, Henny Triskaidekaman, mengalir dengan ketegasan dan keindahan yang memikat, menghadirkan kesan yang tidak mudah dilupakan. Lebih jauh lagi, kejutan-kejutan yang menghiasi sepanjang cerita menambah daya tarik yang tak terduga. Setiap perubahan dan liku dalam narasi memandu pembaca dalam perjalanan yang penuh dengan penemuan baru.
Dalam pandangan saya, CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E karya Henny Triskaidekaman menghadirkan wawasan dan nilai yang mendalam. Buku ini layak untuk diterima dan dipahami oleh setiap pembaca yang mencari pemahaman tentang kepemimpinan dan dinamika masyarakat. Lebih dari sekadar hiburan, karya ini mengundang pembaca untuk merenungkan nasib bangsa kita, seandainya dipimpin oleh sosok seperti yang tergambar dalam buku ini. Dengan segala kelebihan dan tantangannya, buku ini bukan hanya menyentuh hati, tetapi juga membangkitkan pemikiran mendalam tentang masa depan kita sebagai sebuah bangsa.
Minor: Body horror, Emotional abuse, Gore, Hate crime, and Murder