clavishorti's reviews
115 reviews

Silsilah Duka by Dwi Ratih Ramadhany

Go to review page

dark emotional mysterious reflective sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

4.0

Buku Silsilah Duka karya Dwi Ratih Ramadhany menyingkap tabir dengan narasi yang tegas dan menghunjam, menampilkan pemandangan yang meratap. Bagai aliran sungai yang deras, saya dengan cepat terhanyut dalam alur cerita yang, meski tenggelam dalam gelap, mampu menelusup begitu mudah di benak saya. Meski terselip beberapa kata yang mengundang saya untuk merenung lebih lama, saya menemukan kedalaman makna dengan menjelajahi samudra kata di perpustakaan maya.

Sesuai dengan namanya, Silsilah Duka, karya ini memaparkan bagaimana duka tak hanya lahir, melainkan juga merembes dalam aliran waktu, membentuk karakter, bahkan menyulam tradisi. Melalui rentetan kisah yang dimulai dari Juhairiyah, Ramlah, hingga Majang, pena penulis menjejak kerumitan simpul masa lalu yang masih tersamar untuk diungkapkan.

Dengan tebalnya nuansa yang menyelimuti setiap halaman, buku ini menampilkan potongan-potongan kehidupan yang terjalin dalam 134 halaman, membentuk gambaran yang terdiri dari beberapa bab yang bersambung. Namun, di balik kerapatan itu, saya masih menemukan celah untuk pengembangan lebih lanjut, menggali plot menjadi sebuah novela yang memukau dengan kedalaman dan kejelasan yang lebih besar.

Dari segi penokohan, saya merasa sang penulis mampu mengukir dengan sangat baik. Terutama, saya ingin memberikan tepuk tangan yang meriah kepada sang penulis karena kepiawaiannya dalam membentuk karakter Juhairiyah yang begitu hidup—sehingga membuat pembaca merasakan gelora emosional, dari kemarahan hingga kejengkelan.

Saya menemukan bahwa setiap gerak dan tingkah laku Juhairiyah terasa sungguh nyata, seakan-akan dia hidup di hadapan kita. Bahkan, tidak jarang saya merasa tersinggung dan terganggu oleh perbuatannya, sebagaimana layaknya reaksi yang muncul terhadap seorang tokoh yang memiliki kepribadian yang kuat dan kontroversial.

Oh, bagaimana tidak, ketika membaca kisah Juhairiyah, seolah-olah saya telah terlibat langsung dalam percakapan dengan karakter tersebut, merasakan getaran emosi yang mengalir begitu alami. Sungguh, keberhasilan penulis dalam menjiwai tokoh ini layak diapresiasi dengan pujian yang setinggi-tingginya.

Meskipun cerita ini hanyalah hasil cipta imajinasi, namun tak dapat disangkal bahwa realitasnya mencerminkan kejadian yang sering menghiasi panggung dunia nyata. Bagaimana perempuan, terlebih yang telah melangkah menjadi seorang istri, haruslah meniti perjalanan hidup di bawah tekanan standar masyarakat yang kadangkala menyempitkan, bahkan menindas. Begitu mereka melangkah ke pelaminan, seakan-akan tangan-tangan tak terlihat mengikat mereka, merenggut hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.

Tak hanya itu, buku ini juga menyoroti betapa seringnya kita terdengar menyebutkan bahwa surga terletak di bawah telapak kaki ibu. Namun, apabila sang “penjaga” surga tersebut ternyata bertingkah laku dengan kurang mulia, bagaimana nasib sang anak? Terlebih lagi, ketika sang anak berani mengingatkan sang ibu akan kebaikan, namun malah dituduh sebagai anak yang durhaka dan pemberontak. Sungguh, tema yang diusung begitu mendalam dan memikat hati.

Dalam kerangka cerita ini, kita dapat merenungkan betapa kompleksnya relasi antara ibu dan anak, serta bagaimana peran mereka saling memengaruhi dalam membentuk kepribadian dan pandangan hidup. Setiap baris kata yang terpahat dalam buku ini menghembuskan kehidupan pada tiap halamannya, mengajak kita untuk menenggelamkan diri dalam samudra perenungan yang mendalam.

Saya merasakan kesenangan yang tiada tara saat menjelajahi setiap lembaran kata, terutama dengan alur yang dipaparkan, naik-turun, menyuguhkan misteri yang semakin menggelora dan mengundang teka-teki di setiap putarannya. Namun, sayangnya, ketika kisah yang begitu berani diawali dengan langkah-langkah mantap, di penghujung perjalanan, saya merasakan kekosongan dalam narasi.

Dalam hal ini, saya merenungkan bahwa sebuah karya seni, sekalipun indah di awalnya, memerlukan kesetiaan terhadap visi dan keberanian untuk mengeksplorasi setiap lapisan cerita hingga akhir. Mungkin, keberanian yang diharapkan tidak hanya terletak pada langkah-langkah pertama, tetapi juga pada langkah-langkah terakhir, di mana penulis dapat mengekspresikan pandangan dan pesannya dengan penuh keberanian dan konsistensi.

Kelemahan ini, bagaimanapun, tidak melukai keindahan keseluruhan karya. Ia meninggalkan ruang bagi imajinasi pembaca untuk merenung dan berupaya menerka-nerka. Seolah-olah sang penulis dengan sengaja menabur beberapa petunjuk tersembunyi, menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkannya, atau bahkan menyisakan kesan ambigu yang memacu pemikiran pembaca.

Dengan demikian, setelah menyelami setiap halaman dengan cermat, saya menemukan bahwa Silsilah Duka karya Dwi Ratih Ramadhany adalah sebuah karya yang memikat, memukau, dan menggugah. Meskipun tak luput dari beberapa kekurangan, namun keindahan yang tersirat dalam setiap baris kata mampu menembus jantung pembaca dan membiarkan imajinasi terbang menjelajahi dunia yang diciptakan sang penulis. Sebuah karya yang patut diapresiasi dan diperbincangkan, mampu merajut benang merah kehidupan yang kompleks, dan menaburkan biji-biji pemikiran yang akan terus bersemi dalam ingatan pembaca.

Expand filter menu Content Warnings
The Case We Met by Flazia

Go to review page

adventurous challenging emotional informative mysterious reflective sad tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

3.0

The Case We Met karya Flazia, sebuah karya dalam jajaran MetroPop yang saya nantikan dengan penuh antusiasme untuk saya telusuri. Tanpa terlebih dahulu meraba premisnya, di benak saya sudah tergambar perjalanan romansa yang memikat, terpapar dalam setiap halaman.

Ketika saya memasuki dunia yang dihampar dalam halaman The Case We Met, saya harus mengakui bahwa saya terperangkap dalam belantara kebingungan. Rasanya, saya terpaksa mengulang-ulang narasi berkali-kali karena sulitnya saya untuk benar-benar terbenam dalam alur cerita. Salah satu tantangan utama yang saya hadapi adalah penggunaan panggilan nama yang tidak konsisten sejak awal. Saya bingung apakah “Red” dan “Dita” merujuk kepada dua individu yang berbeda, namun ternyata keduanya adalah sosok yang sama. Kejelasan ini hanya terungkap ketika saya melibatkan diri lebih dalam dengan setiap halaman yang saya balik.

Dengan kesabaran dan ketekunan, saya mulai memahami kisah yang dihadirkan. Pusaran kata dan adegan demi adegan mulai membentuk gambaran yang lebih jelas di benak saya. Saya merasakan bagaimana setiap putaran halaman membuka pintu ke pemahaman yang lebih dalam tentang karakter dan alur cerita.

Selain itu, dalam perjalanan membaca narasi, saya juga menemukan bahwa saya mampu memahami isi buku dengan baik. Meskipun terdapat beberapa istilah khusus dari dunia hukum dan kedokteran yang digunakan jauh merayu lautan asing bagi telinga awam, saya masih mampu menangkap maknanya karena penulis dengan teliti selalu berupaya menjelaskan kata-kata tersebut untuk mempermudah pemahaman pembaca yang mungkin awam dalam bidang tersebut. Keberhasilan penulis dalam menjembatani kesenjangan pengetahuan antara pembaca dan isinya sungguh menjadi nilai tambah yang memperkaya pengalaman membaca saya.

Saya tak dapat menyangkal bahwa buku ini benar-benar memikat perhatian saya, seakan menjadi magnet yang tak bisa saya lepaskan. Mungkin ini hanyalah soal selera pembaca, namun bagi saya, buku ini sungguh menghadirkan keseruan yang tak terbantahkan. Meskipun memenuhi dengan adegan kilas balik yang melimpah, saya tak merasa terganggu sedikit pun. Bahkan, saya melihatnya sebagai upaya penulis untuk memastikan bahwa setiap detail terjaga dengan baik, agar pembaca tidak kehilangan satu pun inti cerita.

Akan tetapi, seperti halnya dengan buku-buku lainnya, saya merasa bahwa buku ini masih memiliki kekurangan bagi saya secara pribadi. Terutama, terdapat beberapa adegan yang saya anggap tidak selaras dengan nilai-nilai dan preferensi saya. Khususnya, ketika narasi mulai menjelajahi wilayah romansa yang lebih dalam, terkadang adegan-adegan yang eksplisit, seperti ciuman atau lelucon yang berbau seksual, muncul secara tiba-tiba. Meskipun karakter-karakternya telah menikah dan mungkin hanya sekejap, tetapi saya tetap merasa tidak nyaman. Hal ini terutama karena buku ini sejak awal terasa kental dengan nuansa keagamaan, sehingga kehadiran adegan-adegan semacam itu terasa kurang sesuai bagi saya. Namun, saya sadari bahwa hal ini hanyalah preferensi pribadi saya, dan mungkin tidak selalu relevan bagi pembaca lain.

Selain itu, saya juga menyadari bahwa terdapat banyak sekali tokoh dalam buku ini. Meskipun tidak semua tokoh mendapatkan sorotan khusus, hal ini dapat menyulitkan beberapa pembaca untuk menjaga benang merah cerita. Terlebih lagi, penggunaan nama “Dita” yang terlalu sering bisa menjadi dilema tersendiri; meskipun menciptakan nuansa keunikan, namun dapat menjadi bumerang bagi pembaca yang berusaha mengikuti jejak setiap karakter.

Tidak hanya itu, penyelesaian kasus yang ditawarkan dalam buku ini juga masih menyisakan banyak tanda tanya. Kurangnya interaksi antara
Natan dan Sekar
, mulai dari awal hingga akhir persidangan, menimbulkan rasa kecewa. Saya merasa bahwa potensi untuk menggali dinamika yang lebih dalam seolah dilewatkan begitu saja oleh sang penulis, menyisakan ruang kosong yang belum terjamah oleh kepiawaian pena.

Sejauh perjalanan melintasi halaman-halaman The Case We Met karya Flazia, saya menemukan sebuah dunia yang mengagumkan, penuh dengan intrik, romansa, dan teka-teki yang memikat hati pembaca. Meskipun tak luput dari beberapa kekurangan, keseluruhan pengalaman membaca ini cukup seru dan memuaskan, terutama bagi mereka yang tengah merindukan sentuhan romansa dalam bacaan mereka. Dalam keunikannya, buku ini mampu mengajak pembaca melupakan waktu dan membenamkan diri dalam alur cerita yang memikat, membuatnya layak menjadi teman setia bagi malam yang sunyi dan hati yang haus akan petualangan.

Expand filter menu Content Warnings
Satu Pembohong (One of Us Is Lying) by Karen M. McManus

Go to review page

adventurous challenging dark emotional funny mysterious reflective sad tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

3.0

Dalam timbunan rahasia di Bayview High, sebuah tragedi mengerikan menghantam lima remaja yang tak terduga. Ketika jalinan kehidupan mereka terurai, misteri kematian Simon menjadi pusat sorotan yang menyeramkan. Setiap langkah mereka diperhatikan, setiap kata mereka diselidiki, dan setiap rahasia mereka digali dengan kejam, memaksa mereka terjebak dalam labirin kebohongan. Antara kepintaran Bronwyn, popularitas Addy, kenakalan Nate, dan kekuatan atletik Cooper, siapakah yang berbohong di antara mereka?

One of Us Is Lying (Satu Pembohong) karya Karen M. McManus menghadirkan kisah misteri yang dibalut dalam kehidupan dramatis remaja. Dengan menghadirkan beragam karakter, Karen M. McManus berhasil mengeksplorasi berbagai kepribadian remaja dengan detail yang memikat.

Bronwyn, sang kepala keras, memperlihatkan dirinya sebagai sosok yang terikat pada buku-buku dan pencapaian akademis. Namun, di balik kerangka prestasi yang kokoh, tersembunyi ketidakpastian dan tekanan yang menggerus hatinya. Addy, sang gadis populer, menari di atas lantai sekolah dengan banyak teman di sekitarnya. Namun, dibalik senyumnya yang dipaksakan, terdengar isak tangis kesepian yang tersembunyi di sudut gelap hatinya. Nate, si pemberontak, menantang keadaan dengan sikapnya yang penuh teka-teki. Tetapi, di balik aura ketidaktertarikan yang dipancarkannya, terdapat luka yang dalam dan terpendam, menggerogoti hatinya dengan penuh marah dan kehampaan. Cooper, sang atlet yang berkilau di atas lapangan, terlihat sebagai teladan kesuksesan dan kekuatan fisik. Namun, di balik senyumnya yang terukir di wajahnya, terdapat beban berat tekanan dari panggung kehidupan yang dipertontonkan. Dan Simon, walaupun telah tiada, namun bayangannya masih menghantui mereka. Rahasia yang diungkapkannya tentang teman-temannya menjadi bukti akan pengaruhnya yang masih terasa meskipun nyawanya telah tiada.

Dalam One of Us Is Lying (Satu Pembohong), plot utama yang melibatkan penyelidikan kematian Simon menghadirkan lanskap misteri yang penuh teka-teki. Pembaca dibawa dalam perjalanan yang menguji kepandaian detektifnya, dengan diperkenalkannya berbagai alibi dan motif yang mengaburkan garis antara kebenaran dan kebohongan.

Dengan setiap adegan yang membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, One of Us Is Lying (Satu Pembohong) mengajak pembaca untuk terus merenung, menganalisis, dan mencari petunjuk yang tersembunyi di antara baris-baris cerita. Akankah kebenaran akhirnya terungkap? Hanya dengan membalik setiap halaman dengan hati-hati, pembaca akan menemukan jawabannya di dalam labirin kebohongan dan intrik yang menarik dari buku ini.

Dengan sarat keahlian, Angelic Zaizai berhasil mengalih bahasakan One of Us Is Lying (Satu Pembohong) karya Karen M. McManus dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dengan cukup apik sehingga pembaca dapat dengan mudah terhubung dengan cerita yang disampaikan. Lewat gaya bahasa yang mengalir, Angelic Zaizai menghadirkan pengalaman membaca yang memastikan bahwa setiap nuansa dalam cerita tetap terjaga dengan baik.

Meskipun One of Us Is Lying (Satu Pembohong) memberikan saya hiburan yang memuaskan, saya tidak bisa mengabaikan beberapa hal yang membuat saya bertanya-tanya. Terutama, narasinya terkadang terasa agak lamban dan kurang memikat, dengan beberapa adegan yang tampaknya hanya memanjang tanpa memberikan kontribusi signifikan pada inti cerita. Sehingga, saya merasa tertinggal dalam gelombang kejutan yang seharusnya.

Tidak hanya itu, saya juga merasakan bahwa buku ini lebih banyak menyoroti drama remaja daripada menyibak misteri yang sebenarnya. Meskipun ada benang-benang misteri yang dijalin, terutama seputar penyelidikan kematian Simon, namun ceritanya lebih banyak menggali dinamika hubungan antara karakter utama. Padahal, saya rindu akan ketegangan yang harusnya mendominasi dalam sebuah kisah misteri yang memikat.

Seiring berjalannya cerita, saya semakin merasa bahwa akhir cerita terlalu cepat dan tergesa-gesa. Setelah mengikuti alur yang lambat sepanjang buku, saya berharap untuk mendapatkan penyelesaian yang lebih mendalam dan memuaskan. Namun, terasa seperti ada kebutuhan untuk mengakhiri cerita dengan cepat, sehingga memengaruhi ketegangan yang seharusnya terasa di puncak klimaks.

Meskipun demikian, saya tidak menutup mata terhadap kemungkinan bahwa preferensi pembaca bisa beragam. Mungkin apa yang kurang menarik bagi saya bisa saja menjadi daya tarik bagi orang lain. One of Us Is Lying (Satu Pembohong) karya Karen M. McManus tetap memberikan pengalaman yang menarik dengan karakter-karakter yang kuat dan plot yang penuh intrik. Bagi mereka yang lebih tertarik pada drama remaja dengan sentuhan misteri, buku ini masih layak untuk dijelajahi dengan lebih dalam.

Expand filter menu Content Warnings
Paraban Tuah by Elok Teja Suminar

Go to review page

adventurous challenging dark emotional informative mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0

Buku Paraban Tuah karya Elok Teja Suminar adalah sebuah sajian kebijaksanaan yang merangkum kehidupan perempuan-perempuan Madura dalam sebelas cerita penuh warna. Dengan sari kata yang mempesona, Elok Teja Suminar menyidik rasa gelisah dan kegerunan jiwa tokoh-tokoh yang terperangkap dalam belenggu tradisi dan kaidah yang berakar dalam adat istiadat. Mereka berdiri di hadapan gelombang, ingin meraih ruang yang setara untuk memancarkan gagasan dan kehendak mereka. Akan tetapi, seperti angin yang menghantam layar di tengah lautan, berbagai halangan dan rintangan menghambat langkah-langkah mereka menuju kemerdekaan. Dari reruntuhan tradisi hingga aturan-aturan sosial yang menakutkan, menjebak para tokoh dalam labirin yang rumit dan tidak berujung.

Mulai dari kisah “Orok”, terbentang kisah pilu seorang perempuan yang terperangkap dalam cengkeraman sang bapak, diaraknya seperti pion dalam pertunjukan kehendaknya. Mulai dari paksaan menikah hingga diperbudak sebagai sarana pemenuhan hawa nafsunya yang tak terbendung. Lalu, dari halaman “Kawin”, muncul tragedi memilukan seorang gadis muda yang hamil tanpa pengertian, dipaksa menikah untuk alasan ‘memperbaiki’ masa depan yang tak dimengertinya.

Berlanjut dengan “Semut”, di mana rasa takut akan sesuatu yang kecil menjadi cerminan dari ketakutan yang lebih besar, yang meluap dalam kekosongan hati. Dan “Mitun”, yang menyuguhkan kisah kepiluan seorang gadis yang kehilangan segalanya saat ibunya meninggal, menggiringnya pada pertarungan yang tak berkesudahan dengan diri dan takdirnya sendiri.

“Sarung Emak” mempersembahkan perjalanan Midah, seorang wanita tangguh yang menghadapi pengkhianatan suaminya dengan penuh keberanian. Dalam keteguhan hatinya, ia menolak menjadi korban dari permainan takdir yang kejam. Ketika suaminya memilih untuk menikahi wanita lain sebagai pengganti dirinya, Midah memutuskan untuk menapaki jalan kesendirian daripada menelan racun yang pahit. Dalam langkahnya yang teguh, ia membangun benteng kekuatan di dalam dirinya, menolak menjadi alat bagi ketidakadilan.

Sementara itu, “Kambing” membawa kita menyusuri lorong gelap kemanusiaan yang tersembunyi, di mana kejahatan sering dijadikan jalan keluar dari kebutuhan yang tak terpenuhi. Dalam hiruk-pikuk kehidupan yang penuh dengan keinginan dan kebutuhan, harga yang harus dibayar adalah kehilangan jiwa dan akal.

“Bhubuen” mengilustrasikan narasi kelam keputusasaan yang memuncak serta dendam yang menggelegak dalam putaran roda tak berujung. Sementara itu, “Paraban Tuah” mengungkapkan kelemahan manusia yang tersembunyi di balik tirai kesibukan, di mana pengabdian seorang anak menjadi sinar terang bagi mata hati yang terlanjur buta.

Cerita terakhir, “Setelah Kabur”, merentangkan jalinan jiwa yang diliputi oleh rindu dan penuh dengan tanya. Melalui lorong gelap pencarian identitas, kita diseret pada perjalanan yang tak terduga. Dalam setiap lembaran, terhampar garis tipis yang memisahkan antara cahaya dan bayang, harapan dan putus asa, memukau pembaca untuk terus mengintip halaman demi halaman.


Setelah merenung di antara lembar-lembar kisah yang membelit hati, gambaran tentang kehidupan manusia pun terbentuk, melintasi kompleksitas dan ketidakpastian. Liku dan jurang yang dalam membentuk panggung perjuangan, di mana tokoh-tokoh di dalamnya terhempas dalam arus yang mencekik, menghadapi tantangan yang berliku, melalui koridor gelap yang tak berujung.

Dalam buku ini, penderitaan perempuan-perempuan yang kerap kali menjadi korban dari jerat-jerat masyarakat dijelaskan secara detail. Mereka terperangkap dalam peran-peran yang tercipta, terkurung tanpa suara atau hak untuk mengukir takdir sendiri. Kisah-kisah ini, dengan berani, membongkar kedalaman rahasia yang menyelimuti kehidupan perempuan Madura, mengungkapkan kepedihan yang terpendam di balik tabir.

Namun di antara semua cerita, satu kisah yang mencuri perhatian saya adalah “Kambing”. Dengan penuh kekuatan dan kejutan, kisah ini merentangkan tragedi yang tak terlupakan, memotret penderitaan yang meresap dalam hati. Dengan tiap helai kata yang terjalin, “Kambing” berhasil menarik saya ke dalam dunianya yang gelap namun memikat.

Dengan demikian, Paraban Tuah karya Elok Teja Suminar bukan hanya sekadar sekumpulan cerita, melainkan sebuah jendela yang terbuka luas untuk memahami dan merasakan nuansa kaya dari kehidupan di Madura. Cocok bagi mereka yang haus akan kisah-kisah perjuangan perempuan yang memikat dengan aroma khas Madura yang kental, buku ini akan memenuhi dahaga akan petualangan jiwa yang mendalam dan penuh warna.

Expand filter menu Content Warnings
The Adventures of Amina al-Sirafi by S.A. Chakraborty

Go to review page

adventurous challenging dark emotional funny mysterious reflective sad tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

4.0

In the splendid literary masterpiece The Adventures of Amina al-Sirafi by Shannon A. Chakraborty, I must confess that my attention has been captivated for quite some time. It is not merely the enchanting cover of the book, designed by Mumtaz Mustafa and illustrated by Ivan Belikov, but also the epic promises emanating from its story premise that have drawn me in. Thus, with a hopeful heart, I embarked upon the journey through its pages. 
 
However, I did not immediately immerse myself in the narrative. It took me some time to navigate its intricate plot. Initially, my perspective was adrift amidst the flowing waves of words, compounded by confusion regarding the narrative viewpoint presented. Additionally, the varied vocabulary employed in the story remained partially veiled to my understanding. It was regrettable that, when consulting the footnotes or glossary provided, explanations for these words were rarely found. Consequently, I found myself investing extra time in comprehending each sentence, resorting to digital sources and the like for answers. Nonetheless, with patience and perseverance, I eventually succeeded in assimilating every nuance presented within the tale’s pages. 
 
The tale of The Adventures of Amina al-Sirafi by Shannon A. Chakraborty indeed revives the glory of a nakhuda named Amina al-Sirafi, immortalized as a hero amidst the mist of the ocean. She, a courageous woman, wearied from sailing across oceans to traverse time. 
 
Amina, oh Amina, an intrepid explorer with a fiery spirit burning within her. Alongside her steadfast companions, she traverses the corners of the world, uncovering mysteries amidst the twinkling stars. Yet, when the curtain of retirement finally shrouds her vision, a sudden call beckons her to return to the sea that yearns for her. Although the joy of embracing it once more fills her, lament and regret reign within her, compelling her to leave her beloved family once more. 
 
Thus unfolds a new chapter of Amina’s adventure, each step akin to a cluster of stars dancing in the sky. An adventure not only captivating but also filled with wonders and darkness. Otherworldly creatures, enchanting magic, and even bloodshed adorn her journey. 
 
In this tale, Shannon A. Chakraborty presents a rich and intricate portrayal of the fantasy world created, a world that breathes life into its culture, history, and politics. With a storytelling style flowing like a river and descriptions that transform into living paintings, readers are invited to immerse themselves in the whirlpool of a captivating adventure, brimming with surprises and gripping tension. 
 
As I sailed deeper into the currents of the story, pleasure undoubtedly crept into my soul. Even in the serene silence, tension danced at the edge of my heart, while frustration approached, evoking a sense of palpable frustration. However, some aspects of the story still seemed too shallow to explore fully. 
 
Within the recesses of my heart, a bittersweet essence lingered, complementing the journey in certain parts. Just like any great literary work, this book has become a focal point of debate and diverse studies among its observers and enthusiasts. Opinions gathered may vary regarding the cultural, social, or political representations in this story, as well as different perspectives on the evolution of characters and plots unfolded. 
 
There are cheers and somber reflections adorning the discussion, particularly when Shannon A. Chakraborty portrays the culture and religion amidst a landscape imbued with the aroma of the Middle East and the distinctive Arab flavor. Some feel a sharp impact, while others feel respected, or even identify weaknesses within it. 
 
Yet, amidst the deluge of opinions and torrents of criticism, it is crucial to remember that every stroke of the pen carries subjective interpretations and reactions. Diversity of viewpoints is one of the hidden treasures amidst the flow of literary discourse. Despite varying opinions and interpretations, within them lies the magic that makes literature a wellspring of inspiration, self-reflection, and a cornerstone of critical reflection. 
 
With all the grandeur and controversy surrounding the tale of The Adventures of Amina al-Sirafi, it is undeniable that it remains a topic of conversation among literature enthusiasts. Amidst the cheers and somber reflections, discussions about cultural values, religious thoughts, and the intricacies of the plot continue to flow like an ever-running river. It is a work that invites deep reflection, sparks discussions that stimulate critical thinking, and adds an unforgettable hue to the tapestry of the world’s literary richness. 

Expand filter menu Content Warnings
Celana by Joko Pinurbo

Go to review page

adventurous challenging dark emotional funny mysterious reflective sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

3.0

Buku Celana adalah sebuah karya sastra berisi kumpulan puisi yang lahir dari pena Joko Pinurbo pada tahun 1999. Karya ini seperti sebuah petualangan yang membawa pembaca melintasi beragam tema, membuka tirai kehidupan dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Setiap bait puisi mengalir seperti aliran sungai yang mengikuti alur waktu, menghadirkan cerita-cerita yang menggugah pikiran pembacanya. 
 
Joko Pinurbo menghadirkan lukisan-lukisan yang mendalam tentang kehidupan sehari-hari. Setiap goresan pena mengungkap konflik dalam rumah tangga, kejutan di balik kisah tukang becak, dan setiap titik kehidupan yang terlupakan. Melalui kemahiran bahasa dan intuisi yang tajam, beliau menggambarkan kehidupan yang berwarna, meskipun dalam kebiasaan yang paling sederhana. 
 
Di dalam bait-bait puisinya, Joko Pinurbo membawa sentuhan cinta dengan keunikan yang menggelitik. Dalam setiap kata yang ditorehkan, beliau menghadirkan kerinduan, kekecewaan, dan kebahagiaan yang memperkaya setiap jalinan hubungan di antara manusia. Tidak hanya itu, Joko Pinurbo juga menyoroti ketimpangan yang merajalela dalam masyarakat, serta standar-standar yang seringkali dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Lewat karyanya, beliau menaburkan biji kesadaran akan kompleksitas struktur sosial, mengajak kita merenung atas setiap sisi kehidupan yang tak terduga. 
 
Dengan penuh humor dan ironi, Joko Pinurbo juga mengangkat isu-isu yang relevan dengan kondisi negara kita. Perjuangan aktivisme dan politik yang tengah berkobar pada tahun 1999 menjadi lanskap yang diabadikan dalam puisi-puisinya. Beliau dengan cermat menggambarkan perjuangan para pejuang hak asasi manusia, sambil menyuarakan keprihatinan akan pelanggaran yang tak terelakkan. 
 
Tak terlupakan, di dalam Celana, terdapat juga refleksi pribadi dan eksistensial tentang makna hidup, keberadaan, dan tujuan di dunia ini. Pinurbo tak hanya menyibak kisah kehidupan, melainkan juga mengupas tabir kematian yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup manusia. Dengan kata-kata yang memesona, beliau memandu pembaca melintasi lorong-lorong, menuju makna yang lebih dalam tentang keberadaan dan hakikat hidup. 
 
Dari ragam tema yang melimpah, buku ini mempersembahkan perbincangan yang beragam dan kaya. Namun, sayangnya, bagi saya pribadi, buku ini belum mampu menyentuh ke dalam hati saya. Barangkali karena saya masih awam dalam memahami puisi, sehingga untuk menghayati dan memaknainya dengan lebih mendalam, diperlukan usaha dan waktu yang lebih panjang. 
 
Selain itu, saya juga tertarik dengan pemilihan judul Celana untuk buku ini. Apakah ada makna khusus di balik pemilihan judul tersebut? Mungkinkah karena puisi yang berjudul “Celana” di dalam buku ini memiliki signifikansi yang mendalam bagi sang penulis? Selain itu, saya mencatat bahwa meskipun judul bukunya adalah Celana, kata yang sering muncul dalam puisi-puisi di dalam buku ini adalah ‘ranjang’. Apakah ada keterkaitan antara kedua kata tersebut dalam konteks puisi yang disajikan? 
 
Bagi para pencinta seni puisi, buku ini layak menjadi rekomendasi. Meskipun belum mampu meraih tempat di lubuk hati saya, penilaian ini semata-mata adalah hasil pemikiran pribadi. Barangkali, bagi para penggemar puisi yang lebih berpengalaman, buku ini dapat menjadi sumber inspirasi yang menyentuh dan menggugah. 
Hujan Kepagian by Nugroho Notosusanto

Go to review page

adventurous challenging dark emotional informative reflective sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? No

5.0

Buku Hujan Kepagian adalah sebuah karya sastra yang memuat enam cerita pendek yang disusun oleh tangan cendekia Nugroho Notosusanto. Diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka, Jakarta pada tahun 1958, buku ini menjadi saksi bisu perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dari cengkeraman penjajah. 
 
Cerita-cerita yang terhampar di dalamnya membawa pembaca dalam perjalanan emosional yang mendalam, mengisahkan tentang zaman di mana gemuruh senjata menggema di antara lapisan awan mendung masa agresi Belanda pada tahun 1947-1949. Setiap cerita, dihias dengan latar belakang yang menggambarkan keganasan zaman, membawa kita berkelana dalam pusaran perang yang membara. 
 
Buku ini dengan tajam mengarahkan sorotan kepada para tentara, khususnya para tentara pelajar, yang turut berperan dalam mempertahankan kedaulatan bangsa. Mereka, yang semula hanya mengejar cita-cita ilmu di bangku sekolah, berubah menjadi pejuang yang tangguh, siap menghadapi bahaya demi kemerdekaan bangsanya. Sebagai ujung tombak dalam pertempuran melawan pasukan Belanda, mereka menunjukkan dedikasi yang tak tergoyahkan dan semangat juang yang membara. 
 
Dengan narasi yang memukau, pembaca dibawa merasakan getirnya perjuangan yang dijalani oleh para pejuang kemerdekaan. Mereka, bukan hanya pelajar, tetapi pahlawan yang rela mengorbankan segalanya demi cita-cita luhur bangsa. Di setiap halaman, terpahatlah kisah keberanian yang menginspirasi, di mana segala rintangan dihadapi dengan kepala tegak dan hati yang kokoh. 
 
Namun, di balik keberanian dan semangat juang, buku ini juga menyingkapkan sisi lain dari perang, menggali masalah-masalah sosial yang tersembunyi di balik gemerlapnya medan pertempuran. Norma-norma yang seharusnya menjadi landasan bermasyarakat, seperti norma kesopanan dan norma kesusilaan, terkadang terabaikan di medan perang. 
 
Selain itu, buku ini tidak hanya menggambarkan keganasan pertempuran, tetapi juga menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan yang tetap bersinar di tengah kegelapan perang. Meskipun terlibat dalam pertempuran yang mematikan, namun tetaplah terlihat kilauan kebaikan hati yang muncul dari para pejuang, menghadirkan harapan di tengah-tengah keputusasaan. Dengan memperkaya narasi melalui penceritaan yang penuh warna, buku ini memperlihatkan segala sisi kompleks dari perang kemerdekaan, mengajak pembaca untuk merenung dan mengapresiasi keberanian serta pengorbanan para pahlawan bangsa. 
 
Dari lubuk hati yang dalam, saya sungguh menyukai buku ini. Sudut pandangnya yang unik dan bahasanya yang kaya akan daya tariknya sendiri, tak terkecuali tema-tema yang diusungnya. Bahasa yang digunakan sungguh memesona dan mengalir dalam balutan sastra lama yang mengingatkan pada gemerlapnya masa lalu. Saat kita terhanyut dalam aliran narasinya, kita akan menemukan banyak kata-kata dan objek yang khas pada zamannya. Mulai dari merek kacamata hingga permen, bahkan hingga sepatu yang menjadi penanda khas zamannya. Senjata-senjata yang digunakan pun tidak luput dari perhatian, menghadirkan nuansa autentik dari masa perjuangan tersebut. 
 
Walau demikian, di tengah keindahan alur cerita yang menghipnotis, tak terelakkan pula terdapat sejumlah kesalahan penulisan serta pemakaian bahasa yang tak selalu sesuai standar. Barangkali hal ini disebabkan oleh fakta bahwa buku ini terbit pada masa lampau, di mana mesin tik, norma-norma tata bahasa, dan kaidah penulisan belum secanggih dan seketat masa kini. Meski demikian, hal ini justru menjadi bagian dari keaslian dan keragaman buku tersebut, menyiratkan nuansa nostalgia akan zamannya, di mana kebersamaan dengan kekurangan dan kejelasan masih terasa hangat dalam benak para pembaca. 
 
Dari lubuk hati yang dalam, saya sungguh terpukau dengan cerita pendek yang pertama, yang berjudul “Senyum”. Pesan yang terkandung di dalamnya sungguh menyentuh hati saya dengan dalamnya. Terpaparlah di hadapan mata saya gambaran yang menggetarkan jiwa, menceritakan kisah seorang pejuang yang meski terluka, masih mampu menyunggingkan senyuman di bibirnya. Senyum itu bukan semata upaya untuk menyembunyikan luka, melainkan juga merupakan bentuk keteguhan hati dan semangat yang tak pernah padam, meskipun badai datang menerpa. 
 
Selain itu, “Perawan di Garis Depan” juga menempati tempat istimewa dalam hati saya. Meskipun saya masih merasa sangat kesal dan marah di mana perempuan harus menghadapi perlakuan yang tidak manusiawi bahkan saat berjuang melawan penjajah. Saya sungguh mengutuk tindakan keji mereka, yang tidak layak disebut sebagai manusia. Cerita ini menggambarkan tragedi yang menyayat hati, di mana seorang perempuan yang seharusnya diberi perlindungan dan penghormatan malah menjadi sasaran kekejaman dan pelecehan. 
 
Melalui lapisan-lapisan cerita yang dalam dan mengharukan, buku Hujan Kepagian tidak hanya sekadar merupakan himpunan kisah perjuangan, melainkan juga sebuah refleksi yang memantulkan kompleksitas manusia dan perang itu sendiri. Setiap lembarannya dihiasi dengan kisah-kisah yang menggugah hati, mengajak kita untuk memandang baik sisi terang maupun sisi gelap dari perang dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan membius pembaca dalam gelombang emosi yang mendalam, buku Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto memberikan pelajaran berharga tentang nilai-nilai kemanusiaan dan keberanian yang harus senantiasa kita junjung tinggi dalam lembaran sejarah bangsa kita. 
 
Dan aku merangkak terus. Aku lupa kepada sakit, aku merangkak terus. Dan aku lihat di puncak Bukit Kuwuk, Tati berdiri berpakaian putih dengan pita merah di rambut dan ikat pinggang merah melilit pinggangnya. Ia menari-nari kegirangan, di tangannya sebuah batu tulis.

Expand filter menu Content Warnings
Perempuan Bersampur Merah by Andaru Intan

Go to review page

dark emotional informative mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? No

5.0

Di Banyuwangi, di antara remang bayang, Sari meratapi tragedi tahun 1998 yang menghantui jiwanya hingga kini. Dalam gulita ingatnya, terpatri duka yang teramat mendalam. 
 
Ayahnya, hanyalah korban dusta, dicap sebagai dalang ilmu hitam tanpa sebab yang jelas, sementara sang paman tercinta, terpaksa mengembara jauh, mengungsi dari tanah kelahiran demi menyudahi lakon miring yang mengharu-biru. 
 
Namun, bara keadilan yang menyala di sanubari Sari membakar apinya yang tak pernah redup. Dalam perjalanan yang penuh liku dan petualangan, ia beriringan dengan Rama dan Ahmad, sahabat setianya, terjerembab dalam belantara rahasia yang menyelimuti tarian gandrung. 
 
Tak hanya berhadapan dengan misteri-misteri yang mengelilingi mereka, tetapi juga dengan peredam yang rumit dari masa lalu yang tak kunjung sirna. Dalam cobaan tanpa henti, persahabatan mereka harus berlari, melewati lorong-lorong gelap yang dipenuhi dengan angin lalu tragedi yang berduri. 
 
Dalam pangkal perjalanan Sari mencari kepingan keadilan di Banyuwangi, apakah ia akan menemukan benderang yang dicari, ataukah terperosok dalam jurang kelam masa lalu yang terus menariknya tanpa henti? 
 
 
Kurasa orang-orang dewasa terlalu sulit dipahami. Mereka membuat aturan-aturan yang kadang tak adil sama sekali. Bagaimana bisa, kami yang lahir secara utuh membawa badan dan pikiran kami sendiri selalu dinilai sebagai jelmaan orangtua kami. Kami tidak pernah sama dengan orangtua kami. Kami manusia baru yang punya kehidupan baru dan pilihan baru. Kami tidak lahir membawa dosa ataupun kesalahan mereka di masa lalu. Seharusnya, kami tak dihakimi atas apa yang pernah mereka lakukan. Tapi, kami ini bisa apa? 

  
Dalam kegelapan yang menghantui dan merangkul ingatan, Perempuan Bersampur Merah karya Intan Andaru membelah ruang dan waktu dengan tajam. Dengan pemilihan sampul yang memikat karya sakutangan, pembaca segera diseret ke dalam alur cerita yang mengiris, memunculkan lapisan-lapisan kebudayaan, mengungkap permasalahan sosial yang tersembunyi, dan bahkan membawa kita merenung pada catatan sejarah yang tak terlupakan, menjelajahi luka-luka yang terpendam di bawah permukaan. 
 
Melalui cerita yang sederhana namun mendalam, buku ini menghadirkan gambaran yang menggetarkan tentang praktik pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai dukun santet. Sebuah tragedi yang telah terukir dalam lembaran hitam sejarah Indonesia, yang diwarnai dengan penuh tragedi dan ketidakadilan. 
 
Selama berabad-abad hingga era modern ini, mereka yang menelusuri jejak ilmu pengobatan tradisional, ramalan, atau keahlian supranatural sering kali tersesat dalam belantara stigma sebagai “orang pintar” dalam dinamika masyarakat. Namun, di balik khazanah pengetahuan yang mereka miliki, kekuatan yang mereka genggam juga menjadi senjata bermata dua yang menusuk, menanam benih ketakutan dan kecurigaan di hati kaum awam. 
 
Seperti alur yang terangkum dalam lembaran buku ini, cerita Perempuan Bersampur Merah mencerminkan peristiwa nyata yang mengguncang Banyuwangi pada tahun 1998. Masyarakat diseret dalam gemuruh kehebohan oleh rangkaian pembunuhan yang menghantam mereka yang dituduh sebagai dukun santet. Di tengah gelombang kekejaman, kelompok-kelompok yang mengenakan pakaian hitam pekat, dikenal sebagai ninja, diduga menjadi dalangnya. Dengan gerak-gerik yang terkoordinasi dan sistematis, mereka menorehkan luka ketakutan yang tak terlupakan di benak warga sepanjang peristiwa mencekam ini. 
 
Semuanya berawal dari kejadian-kejadian tak lazim, kematian yang mengejutkan dan mengundang pertanyaan, mendorong masyarakat mencari jawaban dan tanggung jawab, dengan mudah menuding individu-individu yang terkait dengan dunia supranatural sebagai kambing hitam. Hasilnya, mereka yang dicurigai memakai kekuatan ilmu hitam menjadi sasaran tuduhan dan kecurigaan, bahkan berujung pada kematian tragis dengan cara yang keji. Tragedi ini menggores luka yang mendalam dalam sejarah Banyuwangi, serta menciptakan bayangan yang kelam atas kota tersebut, dipenuhi dengan praktik-praktik ilmu hitam. 
 
Demikian juga, dalam rimba sejarah Indonesia yang diwarnai oleh perangkat konflik sosial, politik, dan ekonomi, amarah pembunuhan terhadap mereka yang dianggap berkekuatan supranatural sering tersirat dalam lipatan motif politik, persaingan kekuasaan, atau permusuhan di antara kelompok-kelompok. 
 
Penuduhan terhadap sosok-sosok yang dipercayai memiliki anugerah gaib sering kali menjadi senjata ampuh bagi mereka yang menghendaki menundukkan musuh politik atau merusak stabilitas politik pemerintah. Sosok-sosok yang berpengaruh di tengah masyarakat atau dianggap dapat menguatkan pihak lawan seringkali terjebak dalam pusaran tuduhan palsu ini. Dengan cara begitu, praktik ini menjadi instrumen bagi penguasa untuk mempertahankan hegemoni mereka. 
 
Meski upaya penyelidikan telah dilakukan, bayang-bayang dalang di balik peristiwa pembantaian masih belum sepenuhnya terungkap. Dilansir dari beberapa sumber, pada tahun 2015, tim ad hoc Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menguak kembali tragedi itu, menegaskan kekejaman pelanggaran hak asasi manusia yang menghantui, menyebabkan ratusan nyawa terkubur dalam kegelapan. Namun, meski upaya penyelidikan bergulir, keadilan bagi korban dan keluarga tetap mengendap di ujung perjuangan yang menyisakan luka. Sementara itu, keturunan korban enggan melangkah lebih jauh, takut akan stigma mewarisi ilmu hitam yang mengembara tetap mengikat dengan kuat hingga akhir hayat. 
 
Sementara senja memayungi Banyuwangi dengan warna jingga yang merona, bayang-bayang tragedi meresap dalam hening desa, menyatu dengan aroma mencekam yang menguar. Namun, semangat kebenaran tetap berkobar, menyalakan nyala harapan baru untuk Banyuwangi. Banyuwangi, dengan sejarah hitam yang melingkupinya, membangkitkan keinginan untuk menghindari kisah tragis yang berulang, memperkuat pagar pencegahan dan rekonsiliasi. 
 
Maka, perlawanan terhadap gelapnya peradaban haruslah padat dan kokoh seperti simpul yang terikat. Hanya dengan langkah bersama, pemerintah dan masyarakat, kita dapat merajut kembali benang kemanusiaan, memastikan setiap jiwa di bumi ini tegak berdiri tanpa rasa takut, tanpa tuduhan palsu yang dapat merenggut nyawa kapan saja. 
 
Bukankah indah, bahwa dalam perenungan akan lembaran sejarah kelam, kita juga disuguhi kearifan budaya yang tak ternilai? Melalui karya Perempuan Bersampur Merah, Intan Andaru melampaui batas-batas waktu, membawa kita ke dalam lapisan-lapisan kehidupan yang penuh warna. Tidak sekadar menyorot praktik pembunuhan yang menimpa orang-orang yang dituduh sebagai dukun santet, Intan Andaru juga menembus ke dalam gerak-gerik penari Gandrung dan kekuatan magis yang mengitarinya. Dalam alur yang khas, penulis membawa kita melalui lautan narasi yang hidup, memastikan kita terus terhanyut dalam cerita yang tak pernah membosankan. 
 
Dengan kepandaian yang menawan, Intan Andaru mempersembahkan isu romansa dalam karya ini tanpa mengandalkan paksaan, melainkan dengan kelembutan yang mengalir begitu alami namun tak pernah kehilangan kesan. Dalam beberapa bagian cerita yang mengangkat kisah kekeluargaan, kita disuguhkan dengan kehangatan yang mengalir begitu meresap, seolah-olah membawa kita ke dalam pelukan lembut keluarga itu sendiri. Terpandang jelas dalam setiap jalinan kata adalah betapa pentingnya ikatan keluarga, bagaimana cinta dan kasih sayang melintas di antara anggota keluarga, mengisi setiap sudut dengan kehangatan yang menyentuh hati. 
 
Tak sekadar merenungkan kisah percintaan yang teramat manis, tapi juga melalui jalur ini, Intan Andaru memberikan kita cerminan yang jernih tentang nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, serta penghargaan terhadap warisan sejarah dan kebudayaan kita melalui alur cerita ini. Dengan piawai, bak seorang penenun yang ulung, Intan Andaru menenun benang merah di antara hamparan persoalan-persoalan yang kompleks. Ia menghubungkan setiap cabang cerita, mengurai kemisteriusan sejarah, dan merajut kehangatan keluarga menjadi kain yang kuat dan indah. 
 
Dengan demikian, bagi para pecinta sejarah yang ingin mengintip dan belajar dari masa kelam Indonesia dulu, serta bagi mereka yang merindukan narasi yang memperkaya jiwa dengan bebau kebudayaan, Perempuan Bersampur Merah karya Intan Andaru adalah suatu keharusan. Dalam alirannya yang mengalir begitu indah, ia tak hanya mengungkap tragedi-tragedi masa lalu, tetapi juga menghadirkan kehangatan budaya yang tak ternilai harganya. Sebuah perjalanan yang memperkaya pikiran dan jiwa, menggugah kesadaran, dan merajut benang merah yang mengikat kita dengan sejarah leluhur. 

Expand filter menu Content Warnings
I Must Betray You by Ruta Sepetys

Go to review page

adventurous challenging dark emotional informative mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? No

5.0

Selamat datang di Romania tahun 1989, di mana kebebasan adalah impian yang terlarang dan mimpi adalah matahari yang terkunci dalam kegelapan rezim otoriter Nicolae Ceaușescu. Di tengah bayang-bayang ketakutan dan pengucilan, kita bertemu dengan Cristian Florescu, seorang pemuda yang bermimpi menjadi penulis. Namun, dalam negara yang dikuasai oleh kebijakan kejam dan aturan yang ketat, bermimpi adalah keberanian yang berbahaya. 

Dalam sebuah taruhan berisiko, Cristian memutuskan untuk membuka topeng busuk rezim dan memberikan suara untuk rakyatnya yang tercekik oleh tirani. Namun, di dunia di mana setiap langkah adalah taruhan dengan nasib, apa sebenarnya yang akan dihasilkan dari perjuangan Cristian untuk kebebasan? 


“Kau tahu, Cristian. Dante ternyata salah. Neraka tidak panas. Neraka ternyata dingin dan beku.” 


Dalam I Must Betray You karya Ruta Sepetys, pembaca disuguhkan dengan sebuah perjalanan yang menegangkan, memadukan elemen fiksi dengan kejadian sejarah yang nyata. Terletak di tengah-tengah gejolak Revolusi Romania tahun 1989, buku ini menyoroti tema pengkhianatan, keluarga, cinta, dan semangat revolusi yang menggetarkan jiwa.

Berbeda dengan karya-karya sebelumnya seperti Salt to the Sea dan The Fountains of Silence, I Must Betray You memilih pendekatan yang memikat dengan menyajikan cerita melalui satu sudut pandang utama: Pengalaman Cristian, seorang remaja yang penuh semangat, berjuang melawan tirani dan ketidakadilan rezim yang membatasi kebebasan individu.

Di antara tembok-tembok beton rezim yang tinggi dan menakutkan, Cristian menjadi panduan kita melintasi lorong-lorong kekuasaan yang gelap, ketakutan yang menyelimuti, dan keputusasaan yang menghantui. Dari sudut pandangnya, kita menyaksikan tidak hanya kisah perjuangannya, tetapi juga kompleksitas hubungan antar karakter dan dinamika kehidupan sehari-hari di bawah tekanan rezim otoriter.

Melalui bait-bait puisinya yang menusuk, kita menyaksikan panorama politik yang kompleks dan kekerasan yang merajalela di negeri itu. Pembaca diundang untuk merasakan tekanan politik yang mencekam dan ketegangan sosial yang melingkupi setiap aspek kehidupan Cristian. Dalam setiap halaman, kita disuguhkan dengan detail-detail yang menggugah, mulai dari dialog yang sarat makna hingga deskripsi yang hidup tentang keadaan lingkungan sekitarnya. Ini memungkinkan pembaca untuk benar-benar terhubung dengan pengalaman Cristian dan secara emosional terlibat dalam perjuangannya.

Dengan alur cerita yang terstruktur secara rapi dan mengalir dengan lancar, pembaca dihanyutkan dalam perjalanan emosional yang menguras hati. Setiap halaman dipenuhi dengan nuansa pengkhianatan yang meresap, pertempuran batin yang mengguncang, dan tetesan harapan yang menggelora di tengah kegelapan yang melanda. Ketegangan terus membangun, membawa pembaca melalui labirin emosi karakter utama, sementara pengkhianatan dan keberanian saling berbenturan, menciptakan drama yang memikat dan penuh intrik. Dengan setiap bab, pembaca terus disuguhkan dengan momen-momen mendebarkan dan pemikiran yang mendalam, menjadikan pengalaman membaca buku ini tak terlupakan.

Pepatah yang menyatakan bahwa sejarah adalah guru terbaik sungguh terbukti dalam pengalaman membaca buku I Must Betray You karya Ruta Sepetys. Bagi saya, buku I Must Betray You bukan hanya sekadar cermin bagi masa lalu yang tragis, tetapi juga sebuah pengingat yang sangat kuat akan pentingnya belajar dari masa lalu. Dengan mengingat dan mempelajari masa lalu, kita dapat mencegah terulangnya kesalahan yang sama di masa depan. Sebagai pembaca, saya disadarkan akan urgensi untuk menjaga dan memperjuangkan nilai-nilai seperti kebebasan, keadilan, dan martabat manusia yang harus kita pertahakan dengan gigih, bahkan di bawah tekanan dan penindasan dari rezim otoriter.

Melalui lapisan-lapisan narasi yang kuat, Ruta Sepetys menggambarkan dengan jelas bagaimana rezim komunis di Romania berhasil memupuk rasa ketidakpercayaan di antara masyarakatnya. Mereka menggunakan berbagai alat propaganda untuk mengontrol informasi yang disampaikan kepada masyarakat, bahkan memanipulasi berita dan menyensor konten yang tidak sesuai dengan narasi mereka. Hal ini menciptakan ketidakpastian dan kebingungan di kalangan masyarakat, yang pada akhirnya memunculkan rasa tidak percaya terhadap sumber informasi resmi.

Selain itu, rezim komunis juga membangun jaringan pengawasan yang luas, termasuk polisi rahasia dan pengaduan masyarakat, menciptakan atmosfer ketakutan dan paranoia di antara warga. Rasa tidak aman ini memperkuat isolasi dan ketidakpercayaan di antara individu-individu dalam masyarakat, sehingga menyulitkan terbentuknya solidaritas sosial yang kuat.

Tidak hanya itu, rezim komunis juga menggunakan taktik intimidasi dan represi untuk menindas segala bentuk oposisi atau perlawanan. Dengan melakukan penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan eksekusi terhadap siapa pun yang dianggap sebagai ancaman, mereka menciptakan iklim ketakutan yang melumpuhkan dan menghambat upaya masyarakat untuk bersatu melawan tirani.

Dengan menggunakan berbagai cara yang telah dijelaskan sebelumnya, rezim komunis secara sistematis membangun dan memperkuat rasa ketidakpercayaan di antara masyarakatnya. Mereka merobek solidaritas sosial, memadamkan semangat persatuan, dan mengurangi peluang untuk terbentuknya koalisi oposisi yang kuat. Meskipun demikian, api perlawanan terhadap tirani tidak pernah padam. Sebagai sumber ketahanan dan harapan, semangat ini terus berkembang di tengah ketidakpastian dan ketakutan yang merajalela. Setiap tindakan represif rezim hanya memperkuat tekad rakyat untuk menentangnya.

Dan pada suatu titik, semangat perlawanan ini mencapai puncaknya dalam Revolusi Romania tahun 1989. Saat itu, di tengah gejolak politik dan kekerasan yang melumpuhkan, suara-suara perlawanan bergema melalui jalan-jalan kota. Mereka tidak hanya mencerminkan kemarahan dan ketidakpuasan, tetapi juga menggugah jiwa dan semangat para pengikutnya untuk bangkit melawan penindasan yang telah lama mereka tanggung.

Revolusi itu bukan hanya tentang pergantian kekuasaan, tetapi juga tentang harapan akan masa depan yang lebih terang. Itu adalah dorongan kolektif untuk membebaskan diri dari belenggu tirani dan menegakkan hak-hak asasi manusia yang telah lama diabaikan. Dengan keberanian dan keteguhan hati, rakyat Romania mengubah takdir mereka sendiri, mengukir sejarah baru yang akan diingat selamanya. Di balik tragedi dan pengorbanan, terbitlah cahaya harapan yang membawa perubahan yang revolusioner bagi bangsa mereka.

Buku I Must Betray You karya Ruta Sepetys adalah sebuah perjalanan yang menggugah jiwa dan membawa kita menjelajahi kedalaman emosi dan kekuatan kemanusiaan. Salah satu poin utamanya adalah narasinya yang luar biasa kuat dan mendalam. Melalui kata-kata yang indah dan penuh warna, Ruta Sepetys membawa kita melintasi jalan berliku politik dan kekerasan yang memenuhi Romania pada tahun 1989.

Puisi-puisi yang ditulis oleh karakter utama, Cristian, adalah permata yang membuat buku ini bersinar lebih terang. Dalam buku catatannya, puisi-puisi ini memberikan kedalaman emosi dan introspeksi yang lebih dalam tentang perasaan dan pikiran karakter utama. Mereka tidak hanya menambah kekayaan alur cerita, tetapi juga memberikan ruang bagi pembaca untuk merenungkan makna yang lebih dalam dari setiap peristiwa yang terjadi.

Selain itu, alih bahasa yang dilakukan oleh Fira Nursya’bani adalah sebuah karya seni dalam dirinya sendiri. Meskipun terjemahan, Fira Nursya’bani mampu menghidupkan kembali semua nuansa dan emosi dari narasi aslinya dalam bahasa Indonesia. Bahkan, puisi-puisi yang awalnya ditulis dalam bahasa Inggris tetap memancarkan keindahannya dalam terjemahan ini, menunjukkan keahlian dan kepekaan sang penerjemah dalam menyampaikan pesan dengan keaslian bahasa yang berbeda.

Meskipun buku I Must Betray You memiliki banyak keunggulan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan. Salah satu kelemahan yang mungkin mencolok adalah penggunaan satu sudut pandang dalam penyampaian ceritanya. Berbeda dengan ciri khas Ruta Sepetys yang menghadirkan sudut pandang yang beragam dan banyak dalam karya-karyanya sebelumnya, di buku ini kita hanya mendapatkan satu sudut pandang, yaitu dari perspektif karakter utama, Cristian. Meskipun hal ini membantu untuk lebih mendalaminya karakter utama dan memungkinkan pembaca merasakan pengalaman secara intim, beberapa pembaca mungkin merasa terbatas dalam memahami sudut pandang lain atau memperoleh wawasan yang lebih luas tentang peristiwa yang terjadi.

Selain itu, ada kemungkinan bahwa terdapat beberapa sejarah yang belum dimasukkan ke dalam buku ini. Meskipun Ruta Sepetys telah melakukan penelitian yang mendalam dan menggabungkan kejadian sejarah nyata dengan fiksi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa selalu ada keterbatasan dalam ruang lingkup karya sastra. Beberapa pembaca mungkin merasa tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang konteks sejarah yang lebih luas atau peristiwa-peristiwa tambahan yang mungkin tidak dimasukkan ke dalam narasi utama.

Meskipun demikian, kelemahan-kelemahan tersebut tidak mengurangi kekuatan dan keindahan buku ini. I Must Betray You tetap menjadi sebuah karya yang memukau, menggugah, dan memperkaya pemahaman kita tentang masa lalu yang tragis. Dengan alur cerita yang menarik, karakter-karakter yang kompleks, narasi yang kuat, puisi-puisi yang memikat, dan terjemahan yang cemerlang, buku ini tidak hanya memikat hati pembaca, tetapi juga memberikan wawasan yang berharga tentang periode bersejarah yang penting. Buku ini mengingatkan kita akan kekuatan dan keberanian manusia dalam menghadapi masa lalu yang tragis, dan mendorong kita untuk tidak pernah melupakan pelajaran berharga yang dapat diambil darinya. Saya sangat merekomendasikan buku I Must Betray You karya Ruta Sepetys bagi siapa pun yang ingin tenggelam dalam dunia yang penuh dengan intrik politik, perjuangan batin, dan semangat revolusi yang menggetarkan jiwa.

Expand filter menu Content Warnings
The Old Woman with the Knife by Gu Byeong-mo

Go to review page

adventurous challenging dark emotional mysterious reflective sad tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

2.0

As I first flipped through the pages of The Old Woman with the Knife by Gu Byeong-Mo, translated into English by Kim Chi-Young, a surge of awe swept through me. Amidst the rows of pages beckoning to be explored, lay a premise so captivating: the tale of an elderly female assassin with a cold heart in Korea, nearing the twilight of her career. My mind raced with possibilities and intrigues that could unfold within these pages. “Woah,” I whispered to myself in utter admiration, “this story concept is truly riveting.” 
 
However, as I delved into the storyline, I quickly realized that adjustments were needed. It felt like navigating through uncharted territory, where the plot seemed hazy and directionless. The narrative presented felt somewhat lackluster, demanding an ample amount of time to truly forge a connection with the story. It was akin to sailing through murky waters, where the characters felt completely devoid of dimension and lacked depth. It proved challenging for me to genuinely engage with them, as if they were mere fleeting shadows drifting through the pages of the book. 
 
What’s more confounding, the primary conflict in this story appeared to resolve swiftly and without leaving a significant impact. As a reader expecting tension and build-up in a thriller-action narrative, I felt somewhat disappointed with how the book failed to fully embody the essence of its genre. I yearned for more spine-tingling moments and heart-pounding plot twists, yet they seemed inadequately served within these pages. Throughout the story, I searched for solid ground but found myself lost amidst confusion. I hoped to find a glimmer of light at the end of the narrative tunnel, yet even then, I remained adrift in a storyline that felt perplexing and unsatisfying. 
 
Moreover, as I read about the relationship between the main character, Hornclaw, and her dog, a sense of discomfort crept into my mind. Although Hornclaw acknowledged her neglect of her pet, the empathy I felt towards the animal, abandoned for so long and left unfed, only intensified. Imagine the plight of the dog, faithfully waiting for its owner but receiving minimal attention, even to the point of starvation. It not only violated humane norms but also disturbed the conscience of the reader. 
 
Hornclaw’s indifference towards the welfare of her pet raised serious questions in my mind. Was this merely a reflection of the cold and unfeeling nature of an assassin, or was there something deeper that the author wished to convey? I pondered whether Hornclaw was intended to be portrayed as a psychopath lacking empathy towards other living beings. These questions lingered in my mind, adding a layer of emotional complexity to my reading experience. 
 
However, amidst the disappointment that shrouded this reading journey, there was one part of the story that managed to capture my attention strongly. It was when the author delved into the depths of Hornclaw’s character, taking us through her formative years to the person we encounter in this story. I felt like I was uncovering a hidden treasure trove as I traversed each page recounting Hornclaw’s journey from childhood to adulthood. 
 
In this section, the author seemed to find greater freedom in storytelling. The narrative became more vivid, colorful, and followed a clearer direction. Details about Hornclaw’s background were told with meticulous depth, providing a more tangible portrayal of who she truly is behind the cold facade of an assassin. 
 
Every moment of Hornclaw’s childhood, every obstacle she faced on her journey to adulthood, resonated strongly within this narrative. From past traumas to her relationships with loved ones, each element added new dimensions to Hornclaw’s character, making her feel more human and complex. This not only provided a deeper understanding of Hornclaw as an individual but also gave me hope that the story would take a turn and become even more compelling. 
 
Nonetheless, despite my efforts to re-immerse myself in the initial storyline, I still found it challenging to fully enjoy The Old Woman with the Knife by Gu Byeong-Mo. Even as the story approached its conclusion, a sense of dissatisfaction lingered in my mind. It wasn’t easy to determine whether the lack of appeal in this narrative stemmed from a writing style that didn’t align with my taste or from a translation that may not have fully preserved the essence of the original story. However, in all respects, this book fell short of meeting my personal expectations. Additionally, I also recognize that readers’ tastes and preferences are highly subjective, and The Old Woman with the Knife by Gu Byeong-Mo may well be a favorite for others. This serves as a reminder of the importance of appreciating the diversity of reading preferences and providing space for each work to find its place in the hearts of readers. 
 
 
“Not just because you’re a dog. It’s the same with people. They think that an old person can’t live the rest of her life with her mind intact, that an old person gets sick easily and spreads disease, and that nobody will take care of the elderly. That’s what they think about all living things.” 

Expand filter menu Content Warnings