Scan barcode
A review by clavishorti
Twenty-Four Eyes - Dua Belas Pasang Mata by Sakae Tsuboi
adventurous
challenging
dark
emotional
funny
informative
reflective
sad
tense
medium-paced
- Plot- or character-driven? A mix
- Strong character development? Yes
- Loveable characters? Yes
- Diverse cast of characters? Yes
- Flaws of characters a main focus? No
4.0
Di tengah desa nelayan yang kaya akan cerita kehidupan, hadirlah sosok yang penuh keunikan dan inspirasi—Hisako Oishi, atau akrab disapa Bu Guru Oishi. Setiap sudut desa menjadi panggung pembelajaran, di mana murid-muridnya tidak hanya menyerap pelajaran, tetapi juga merasakan kehangatan belaian kasih sayang dari gurunya yang luar biasa ini.
Namun, impian indah itu mendapat tantangan berat ketika badai kenyataan datang menghantam, meruntuhkan segalanya. Perang melanda, mengubah lanskap desa dengan cepat dan menghadirkan ujian berat bagi Bu Guru Oishi dan murid-muridnya. Mereka dihadapkan pada tugas memahami arti sejati dari adaptasi dan ketahanan, sementara gelombang perubahan semakin tak terduga mengguncang mereka. Bagaimana Bu Guru Oishi dan murid-muridnya akan menghadapi perubahan ini?
[ Fitur untuk menyembunyikan bagian yang mengandung bocoran cerita tidak berfungsi sebagaimana mestinya pada ulasan ini. Oleh sebab itu, bagian-bagian di bawah ini mengandung bocoran secara terbuka. Terima kasih atas pemahamannya. ]
A. Penjelajahan Mendalam dalam Tema
Twenty-Four Eyes (Dua Belas Pasang Mata) karya Sakae Tsuboi membawa kita dalam perjalanan hidup yang mempesona, penuh dengan keindahan dan dinamika masyarakat Jepang selama periode perubahan yang besar. Pendidikan dan pengorbanan menjadi puncak cerita, melibatkan Hisako Oishi, seorang guru yang dengan penuh dedikasi membentuk nasib dua belas muridnya.
Melalui sentuhan modernisasi, desa dan budaya bertransformasi melalui perubahan teknologi, pendidikan, dan pergeseran budaya. Sebuah contoh yang mencolok adalah ketika Hisako Oishi pertama kali mengendarai sepeda, memicu pembicaraan di desa yang mencerminkan perubahan sosial dan kultural yang yang mencengangkan dalam masyarakat.
Dalam kerangka hubungan sosial, ikatan antara guru dan murid, serta antarwarga desa, menjadi kekuatan sentral dalam menghadapi gelombang perubahan zaman. Kebersamaan dan solidaritas ini menjadi benteng yang tak tergoyahkan, menghadapi tantangan dan perubahan dengan keberanian dan keyakinan. Sementara itu, sentuhan nostalgia dan kenangan memberikan lapisan emosional yang memperdalam pengalaman membaca, menunjukkan bagaimana karakter menghargai dan merayakan masa lalu.
Perang memberikan dimensi tragis pada naratif, menggambarkan dampaknya pada masyarakat pedesaan, nasionalisme, dan penderitaan karakter-karakter. Alam dan lingkungan desa menjadi latar belakang yang memikat, menambahkan dimensi emosional melalui perubahan musim dan suasana desa yang berubah.
Eksplorasi mengenai harapan masyarakat terhadap kelahiran anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan memberikan lapisan tambahan yang mendalam pada cerita. Sakae Tsuboi dengan cerdas menangkap dinamika gender, membuka ruang untuk refleksi kritis tentang stereotip gender yang masih relevan hingga saat ini. Penanganan isu-isu ini menambah kompleksitas pada novel, memicu perdebatan dan refleksi mendalam tentang norma-norma gender.
Kemanusiaan dan empati menonjol melalui cara karakter saling mendukung di tengah perubahan sosial dan tantangan kehidupan. Twenty-Four Eyes (Dua Belas Pasang Mata) karya Sakae Tsuboi bukan sekadar kisah historis Jepang, melainkan juga kisah yang merayakan kekayaan kemanusiaan, cinta, dan kehidupan. Dengan gaya bahasa yang mengundang dan gambaran yang mendalam, novel ini tidak hanya meninggalkan jejak sejarah, tetapi juga mencerahkan jiwa pembaca dengan pesan universal. Sebuah pengalaman membaca yang memikat, menyentuh, dan memberikan makna mendalam tentang kehidupan dalam perubahan.
B. Eksplorasi Perspektif Kontroversial
Dalam merajut kisah sejarah yang penuh warna dan kehangatan terhadap kemanusiaan, Twenty-Four Eyes (Dua Belas Pasang Mata)karya Sakae Tsuboi tidak hanya menciptakan pemandangan indah sastra Jepang, tetapi juga membuka ruang untuk eksplorasi perspektif terkait peristiwa bersejarah yang digambarkan. Salah satu titik diskusi yang muncul adalah cara novel ini menggambarkan periode Perang Dunia II. Sejauh mana gambarannya akurat atau mengandung elemen kontroversial menciptakan pertanyaan yang menarik. Sakae Tsuboi, melalui lensa emosional karakter-karakternya, memberikan interpretasi yang pribadi, namun apakah hal tersebut mewakili sudut pandang yang lebih luas?
Kontroversi juga mungkin timbul dari cara buku ini memerankan nasionalisme Jepang, sebuah tema yang muncul dalam konteks sejarah. Representasinya, apakah menyeluruh atau memunculkan pertanyaan tentang cara novel ini menanggapi identitas nasional dalam perubahan sosial, menjadi subjek yang menarik. Begitu juga, karakterisasi individu atau kelompok tertentu, serta bagaimana nilai-nilai budaya dan tradisi Jepang dijalin dalam narasi, mungkin menjadi bahan diskusi tentang pandangan subjektif penulis terhadap elemen-elemen ini.
Dengan keberanian mengeksplorasi pengalaman Hisako Oishi di tengah dinamika perubahan sosial dan politik, Sakae Tsuboi tidak hanya meretas lanskap sejarah Jepang, tetapi juga membuka ruang untuk pertanyaan kritis. Sejauh mana representasi ini bersifat netral atau subjektif, dan apakah dapat menimbulkan perdebatan tentang sudut pandang penulis, menjadi tantangan bagi pembaca dan kritikus. Twenty-Four Eyes (Dua Belas Pasang Mata)karya Sakae Tsuboi tidak hanya sekadar sebuah karya sastra; ini adalah perjalanan intelektual yang mengundang refleksi mendalam tentang sejarah, identitas, dan nilai-nilai kemanusiaan.
C. Melalui Pintu Cerita: Bintang-Bintang Terang dalam Cerita dan Tantangan di Balik Sudut-Sudut yang Gelap
Twenty-Four Eyes (Dua Belas Pasang Mata) karya Sakae Tsuboi memikat pembaca dengan keindahan dan kompleksitas kehidupan yang diungkapkan melalui plot dan alur cerita yang sederhana, namun memukau dan apik. Kelebihan utama novel ini terletak pada kemampuan luar biasa Sakae Tsuboi dalam membawa pembaca menjelajahi perjalanan emosional yang mendalam, terutama melalui pembentukan karakter utama, Hisako Oishi. Karakter ini tak hanya menyentuh hati, tetapi juga memberikan dimensi realisme yang memperkaya naratif secara keseluruhan. Meskipun gaya bahasanya sederhana—mungkin terasa kental bagi sebagian—namun berhasil menciptakan suasana yang memukau dan penuh emosi. Latar yang rinci, mulai dari desa kecil hingga perubahan alam sepanjang musim, menjadi panggung hidup bagi kisah ini, memberikan gambaran visual yang mendalam.
Namun, seiring gemerlap kehebatan Twenty-Four Eyes (Dua Belas Pasang Mata), ternyata tidak luput dari beberapa kekurangan yang bisa diberi catatan. Beberapa pembaca mungkin merasa bahwa beberapa plot berjalan dengan langkah yang lambat, menciptakan momen yang terasa seolah melambat. Sementara kompleksitasnya, bagai labirin pikiran, mungkin membuat sebagian orang tersesat dalam kebingungan. Meskipun karakter utama dengan kuat membangun ikatan emosional, sayangnya, beberapa karakter pendukung tampak terpinggirkan, merana dalam kekurangan perhatian dan perkembangan yang mungkin seharusnya seimbang. Sebuah catatan di tengah gemerlap pujian, memberikan sorotan pada sisi lain dari mahakarya ini.
Selama menjelajahi halaman-halaman Twenty-Four Eyes (Dua Belas Pasang Mata), beberapa keluk kekeliruan ketik muncul dan meminta sorotan khusus. Pada halaman 45, terselip kesalahan ketik di kata “nyata”, yang membutuhkan sentuhan koreksi agar kembali berkilau. Pada halaman 108, muncul kata “tersnenyum”, mungkin sebagai hasil dari salah ketik, yang seharusnya berbunyi “tersenyum”. Terakhir, halaman 234 menyimpan kesalahan pada tanda petik (“ ”), menantang kelancaran dan keterbacaan dalam menghadirkan narasi. Menyelaraskan kembali ketelitian ini bukan sekadar urusan koreksi, melainkan upaya menghidupkan kembali ketepatan dan ketelitian, membentuk perjalanan membaca yang semakin memesona dan tanpa cela.
Meskipun demikian, di tengah keunikan dan kebrilian Twenty-Four Eyes (Dua Belas Pasang Mata), pesonanya melampaui kata-kata. Meski menantang pembaca dengan kekompleksan, keberhasilan karya ini menciptakan suatu dunia di mana kehidupan tercermin jelas, dan setiap denyut emosi manusia terperinci dengan indah. Setiap halaman membawa tantangan yang mendalam, tetapi sekaligus menjadi persembahan keahlian penulis dalam merangkai kehidupan dan meraba-raba perasaan manusia. Dengan keunggulan yang mencolok, Twenty-Four Eyes (Dua Belas Pasang Mata)tak sekadar menawarkan perjalanan membaca, melainkan petualangan tak terlupakan ke dalam kompleksitas dan keindahan kemanusiaan.
D. Eksplorasi Diri Melalui Kanvas Cerita
Saat saya terperangkap dalam perjalanan membaca Twenty-Four Eyes (Dua Belas Pasang Mata)karya Sakae Tsuboi, ceritanya merayap dengan penuh kelembutan, seakan membangkitkan nyala kehangatan yang mengusik hati saya. Setiap halaman memainkan peran magisnya, mengubah setiap kata menjadi serangkaian kecupan kasih sayang, yang tak hanya menyentuh, tetapi benar-benar memeluk batin pembaca.
Namun, di tengah keindahannya, terkadang ada beberapa hal yang memecah ketenangan. Beberapa kesalahan ketik muncul seperti kerikil kecil yang merusak keharmonisan. Harapannya, kesalahan-kesalahan kecil ini segera mendapatkan sentuhan penyelamat, menjamin kelancaran alur cerita tanpa cela.
Dalam keberlimpahan karakter, Twenty-Four Eyes (Dua Belas Pasang Mata)menyajikan pertunjukan warna-warni tokoh yang memikat. Namun, terkadang, saya merasa seolah berputar-putar dan kebingungan di taman bunga yang penuh warna. Untungnya, panduan di halaman depan dengan nama-nama dan penjelasan singkat setiap karakter menjadi penunjuk arah yang berharga, menawarkan bantuan istimewa untuk mengurai kebingungan dan menyambut saya ke dalam keanekaragaman karakter yang menakjubkan.
Terjemahan yang ulung oleh Tanti Lesmana seperti pemandu setia dalam menjelajahi petualangan membaca ini. Bahasa yang dipilihnya, serasa sungai yang mengalir dengan tenang, membawa saya melewati setiap cerita dengan kelancaran, memungkinkan saya untuk memahami setiap nuansa dengan hati yang tulus.
Dengan segala kehangatan dan kekayaan dalam setiap halamannya, Twenty-Four Eyes (Dua Belas Pasang Mata)tak hanya menjadi saksi perjalanan batin saya, tetapi juga teman yang hadir dalam setiap tawa, tangis, dan kebahagiaan yang terungkap di dalamnya. Sebuah perjalanan yang tak hanya menyentuh, tetapi merajut hati saya ke dalam dunia yang penuh warna dan kebersamaan.
E. Menyimpulkan Peta Perjalanan
Dalam setiap halaman yang saya telusuri, Twenty-Four Eyes (Dua Belas Pasang Mata)menghadirkan persembahan yang luar biasa. Cerita yang menghangatkan dan alur yang cemerlang membentuk sebuah mahakarya sastra yang tak terlupakan. Kekayaan karakter dalam novel ini seperti menyaksikan pesta warna dalam kehidupan nyata. Meskipun terkadang berputar di tengah-tengah kebun bunga yang penuh, panduan di halaman depan dengan bijak membantu membuka pintu menuju pemahaman lebih dalam terhadap setiap karakter. Terjemahan yang lincah oleh Tanti Lesmana membawa cerita ini hidup, membiarkan kata-kata merajut narasi dengan kelembutan dan daya tarik yang menghipnotis.
Dalam setiap halaman Twenty-Four Eyes (Dua Belas Pasang Mata), saya tidak hanya menyaksikan cerita, tetapi merasakan setiap nuansa emosi, memahami kehidupan di dalamnya, dan menyelami kekayaan kemanusiaan. Sebuah kisah yang tak hanya mengisi kepala saya dengan kata-kata, tetapi juga melengkapi hati saya dengan pengalaman membaca yang mendalam dan penuh warna.
Graphic: Child death, Death, Death of parent, and War
Moderate: Chronic illness, Suicidal thoughts, and Forced institutionalization