Scan barcode
A review by clavishorti
Persona by Fakhrisina Amalia
challenging
dark
emotional
mysterious
reflective
sad
tense
fast-paced
- Plot- or character-driven? Character
- Strong character development? It's complicated
- Loveable characters? It's complicated
- Diverse cast of characters? No
- Flaws of characters a main focus? It's complicated
3.0
Di balik pesona yang memikat, Altair Nakayama menyimpan rahasia yang misterius. Ketika Azura mulai jatuh cinta padanya, Altair pergi dengan tiba-tiba, meninggalkan Azura dalam kebingungan dan kerinduan yang mendalam. Namun, bukan hanya kehilangan Altair yang menjadi tantangan bagi Azura, melainkan juga pengungkapan rahasia-rasahasia kelam yang menyelimuti keluarganya, yang mulai terungkap satu demi satu. Dalam kekacauan ini, Nara menjadi tempat perlindungan bagi Azura, menyediakan dukungan dan keberanian di tengah-tengah kegelisahan.
Waktu terus berjalan, dan tiba-tiba Altair kembali datang, membawa kebingungan dan pergolakan emosi yang baru bagi Azura. Dalam kisah yang penuh teka-teki ini, Azura harus memilih antara cinta yang kembali pulang, yang mungkin membawa jawaban atas misteri yang mengitarinya, atau keberadaan Nara yang selalu ada di sisinya, memberikan ketenangan dan kepastian. Di antara pilihan yang sulit ini, Azura harus menjelajahi jalan keputusan yang penuh dengan keraguan dan perasaan bercampur aduk. Siapakah yang akan dipilihnya, dan apa konsekuensi dari pilihan tersebut?
Karya kedua Fakhrisina Amalia, Persona, menjadi pemandangan baru yang menarik bagi saya setelah menjelajahi Represi. Meskipun terlihat lebih mudah ditebak, saya menemukan bahwa di balik alurnya yang sederhana, tersimpan petunjuk-petunjuk halus yang memancing rasa ingin tahu untuk merenung dan mengikuti setiap jejak cerita yang terungkap. Keberadaan petunjuk ini justru semakin meningkatkan rasa penasaran saya, membangkitkan keinginan yang tak terbendung untuk menyaksikan bagaimana penulis mempermainkan plot dan menghadirkan kejutan-kejutan tak terduga.
Saat tirai buku Persona terbuka, saya disambut dengan narasi yang penuh keberanian, mengundang saya untuk menyelami kedalaman cerita yang menggugah. Begitu melangkah beberapa halaman, saya terhenti sejenak oleh ketegasan dan detail dalam setiap penceritaan, bahkan sampai-sampai saya merasakan kegetiran di beberapa titik cerita. Meskipun ragu, saya tak bisa menahan diri untuk terus membenamkan diri dalam alur yang memikat, terbawa oleh arus misteri yang menggoda untuk dipecahkan. Sebagai peringatan, saya sangat menyarankan para calon pembaca untuk membaca peringatan konten yang disematkan, sebelum memasuki labirin cerita yang kompleks ini.
Semakin saya meresapi halaman demi halaman buku ini, semakin dalam saya terbenam dalam alur ceritanya, tak sabar untuk mengungkap kesudahannya. Gaya bercerita penulis begitu santai dan sederhana, namun tetap mampu mempertahankan daya tariknya. Rasanya seolah tokoh utama, Azura, hidup di antara halaman-halaman tersebut, dengan setiap kata yang terungkap seakan menjadi pengalaman langsung dari dirinya.
Dengan tema yang diusung, penulis menyajikan karya yang mengundang refleksi mendalam. Melalui bahasa yang berani dan menggugah, penulis dengan penuh empati menggambarkan bagaimana kesepian dan kekosongan bisa merusak jiwa seseorang secara perlahan namun pasti. Lapisan cerita yang kaya akan emosi membawa pembaca melalui lorong-lorong kesepian yang menyayat hati, seolah berjalan di antara bayangan-bayangan yang menghantui.
Setiap halaman dari buku ini dirancang sedemikian rupa untuk menyajikan kisah yang tak terlupakan. Penulis dengan mahir memadukan elemen-elemen yang menghangatkan dengan refleksi yang dalam tentang kondisi mental. Tak pelak, buku ini bukan sekadar bacaan ringan; ia adalah perjalanan emosional yang membangkitkan rasa tak terduga.
Di sisi lain, dalam percakapan antara Azura dan Altair, terasa kaku dan kurang alami. Saya penasaran, apakah penulis sengaja menulisnya demikian karena latar belakang campuran Indonesia-Jepang dari karakter Altair, ataukah ada pertimbangan lain yang membuat percakapan terasa kurang mengalir?
Selain itu, beberapa transisi latar belakang cerita terasa kurang teratur, menyebabkan beberapa pembaca merasa kehilangan alur cerita.Misalnya, momen tiba-tiba Azura sudah wisuda tanpa pengantar yang memadai. Saya merasa terkejut dengan peristiwa tersebut dan harus meluangkan waktu untuk kembali ke beberapa halaman sebelumnya guna memastikan tidak melewatkan informasi penting.
Ada satu hal menarik yang perlu saya soroti, yaitu ketika Azura dan Yara menyisipkan beberapa percakapan dalam bahasa Inggris. Apakah penulis melakukannya untuk menegaskan bahwa Azura telah lulus dari jurusan Sastra Inggris? Namun, pelaksanaannya terasa sedikit kaku dan kurang perlu. Sebenarnya, jika penulis bersedia, penulis bisa saja memasukkan percakapan dalam bahasa Inggris sejak awal cerita tanpa menunggu waktu begitu lama. Meskipun begitu, saya tidak berpendapat bahwa tindakan ini buruk, hanya saja saya berharap penulis dapat lebih leluasa dalam mengembangkan cerita agar tetap terasa alami dan menarik.
Pada bagian akhir cerita, penulis sungguh berani. Kejutan yang dihadirkan sungguh tak terduga—saya sama sekali tidak mengantisipasinya sebelumnya. Memang, pemilihan akhir cerita ini bisa menimbulkan reaksi beragam di antara para pembaca. Ada yang mungkin menyukainya karena sentuhan fantasi yang diberikan oleh penulis,terutama ketika cerita berhubungan dengan legenda yang disinggung sebelumnya. Namun, sebagian pembaca lainnya mungkin merasa kecewa dengan pilihan penulis karena dianggap merusak kesan realistis yang telah dibangun sejak awal cerita.
Bagi saya pribadi, saya tidak begitu terganggu dengan akhir cerita ini. Malah, saya sangat mengapresiasi keberanian penulis dalam mengambil langkah tersebut. Bagi saya, akhir cerita ini menjadi sumber diskusi yang menarik, karena membuka ruang bagi saya untuk merenungkan banyak hal.
Berbicara tentang pemilihan judul buku, yaitu Persona, ada sesuatu yang menarik untuk dibahas lebih dalam. Persona, sebagaimana saya temukan dalam beberapa penjelasan di internet, persona memiliki makna yang mengacu pada citra atau karakter yang ditampilkan seseorang kepada dunia luar. Hal ini seringkali merupakan upaya untuk menyembunyikan aspek-aspek tertentu dari diri mereka atau sekadar untuk memenuhi harapan sosial. Persona menjadi bagian dari identitas yang ditampilkan secara publik.
Namun, saya merasa pemilihan judul Persona ini tidak sepenuhnya mencerminkan konsep persona dalam sisi psikologis dengan keseluruhan cerita yang disampaikan dalam buku ini. Meski begitu, sebagai orang yang hanya memiliki pengetahuan awam tentang psikologi dan hanya mengandalkan penjelasan di internet, mungkin pendapat saya kurang valid. Mungkin ada alasan khusus mengapa penulis memilih kata persona sebagai judul bukunya ini, yang membuat saya sangat penasaran ingin mengetahuinya.
Dalam konteks yang lebih luas, pemilihan judul sebuah karya memiliki peranan yang penting, karena judul adalah jendela pertama bagi pembaca untuk memahami isi dan makna sebuah karya. Oleh karena itu, penjelasan yang lebih mendalam tentang pemilihan judul ini akan memberikan wawasan yang lebih dalam tentang keseluruhan pesan dan tujuan yang ingin disampaikan oleh penulis melalui karyanya.
Keseluruhan, pengalaman membaca buku Persona sungguh memikat hati saya. Meskipun terdapat beberapa kekurangan di sana-sini, tak dapat disangkal bahwa buku ini meninggalkan kesan mendalam dan banyak pelajaran berharga yang dapat saya petik dari cerita ini. Menariknya, saya baru menyadari bahwa Represi adalah karya terbaru dari Fakhrisina Amalia, sedangkan Persona merupakan karya sebelumnya. Hal ini mengindikasikan adanya perkembangan yang signifikan dalam karya-karya Fakhrisina Amalia.
Saya melihat adanya peningkatan yang cukup mencolok dalam kualitas penulisan dan pengembangan cerita dari buku Persona ini hingga buku Represi. Hal ini menunjukkan dedikasi penulis dalam memperbaiki kekurangan dan berusaha untuk menjadi lebih baik lagi dalam menyajikan karya-karya yang menarik. Karena itu, saya tak sabar untuk menantikan karya-karya selanjutnya dari Fakhrisina Amalia, yang saya yakin akan memberikan pengalaman membaca yang tak kalah menarik dan memikat.
Waktu terus berjalan, dan tiba-tiba Altair kembali datang, membawa kebingungan dan pergolakan emosi yang baru bagi Azura. Dalam kisah yang penuh teka-teki ini, Azura harus memilih antara cinta yang kembali pulang, yang mungkin membawa jawaban atas misteri yang mengitarinya, atau keberadaan Nara yang selalu ada di sisinya, memberikan ketenangan dan kepastian. Di antara pilihan yang sulit ini, Azura harus menjelajahi jalan keputusan yang penuh dengan keraguan dan perasaan bercampur aduk. Siapakah yang akan dipilihnya, dan apa konsekuensi dari pilihan tersebut?
Karya kedua Fakhrisina Amalia, Persona, menjadi pemandangan baru yang menarik bagi saya setelah menjelajahi Represi. Meskipun terlihat lebih mudah ditebak, saya menemukan bahwa di balik alurnya yang sederhana, tersimpan petunjuk-petunjuk halus yang memancing rasa ingin tahu untuk merenung dan mengikuti setiap jejak cerita yang terungkap. Keberadaan petunjuk ini justru semakin meningkatkan rasa penasaran saya, membangkitkan keinginan yang tak terbendung untuk menyaksikan bagaimana penulis mempermainkan plot dan menghadirkan kejutan-kejutan tak terduga.
Saat tirai buku Persona terbuka, saya disambut dengan narasi yang penuh keberanian, mengundang saya untuk menyelami kedalaman cerita yang menggugah. Begitu melangkah beberapa halaman, saya terhenti sejenak oleh ketegasan dan detail dalam setiap penceritaan, bahkan sampai-sampai saya merasakan kegetiran di beberapa titik cerita. Meskipun ragu, saya tak bisa menahan diri untuk terus membenamkan diri dalam alur yang memikat, terbawa oleh arus misteri yang menggoda untuk dipecahkan. Sebagai peringatan, saya sangat menyarankan para calon pembaca untuk membaca peringatan konten yang disematkan, sebelum memasuki labirin cerita yang kompleks ini.
Semakin saya meresapi halaman demi halaman buku ini, semakin dalam saya terbenam dalam alur ceritanya, tak sabar untuk mengungkap kesudahannya. Gaya bercerita penulis begitu santai dan sederhana, namun tetap mampu mempertahankan daya tariknya. Rasanya seolah tokoh utama, Azura, hidup di antara halaman-halaman tersebut, dengan setiap kata yang terungkap seakan menjadi pengalaman langsung dari dirinya.
Dengan tema yang diusung, penulis menyajikan karya yang mengundang refleksi mendalam. Melalui bahasa yang berani dan menggugah, penulis dengan penuh empati menggambarkan bagaimana kesepian dan kekosongan bisa merusak jiwa seseorang secara perlahan namun pasti. Lapisan cerita yang kaya akan emosi membawa pembaca melalui lorong-lorong kesepian yang menyayat hati, seolah berjalan di antara bayangan-bayangan yang menghantui.
Setiap halaman dari buku ini dirancang sedemikian rupa untuk menyajikan kisah yang tak terlupakan. Penulis dengan mahir memadukan elemen-elemen yang menghangatkan dengan refleksi yang dalam tentang kondisi mental. Tak pelak, buku ini bukan sekadar bacaan ringan; ia adalah perjalanan emosional yang membangkitkan rasa tak terduga.
Di sisi lain, dalam percakapan antara Azura dan Altair, terasa kaku dan kurang alami. Saya penasaran, apakah penulis sengaja menulisnya demikian karena latar belakang campuran Indonesia-Jepang dari karakter Altair, ataukah ada pertimbangan lain yang membuat percakapan terasa kurang mengalir?
Selain itu, beberapa transisi latar belakang cerita terasa kurang teratur, menyebabkan beberapa pembaca merasa kehilangan alur cerita.
Ada satu hal menarik yang perlu saya soroti, yaitu ketika Azura dan Yara menyisipkan beberapa percakapan dalam bahasa Inggris. Apakah penulis melakukannya untuk menegaskan bahwa Azura telah lulus dari jurusan Sastra Inggris? Namun, pelaksanaannya terasa sedikit kaku dan kurang perlu. Sebenarnya, jika penulis bersedia, penulis bisa saja memasukkan percakapan dalam bahasa Inggris sejak awal cerita tanpa menunggu waktu begitu lama. Meskipun begitu, saya tidak berpendapat bahwa tindakan ini buruk, hanya saja saya berharap penulis dapat lebih leluasa dalam mengembangkan cerita agar tetap terasa alami dan menarik.
Pada bagian akhir cerita, penulis sungguh berani. Kejutan yang dihadirkan sungguh tak terduga—saya sama sekali tidak mengantisipasinya sebelumnya. Memang, pemilihan akhir cerita ini bisa menimbulkan reaksi beragam di antara para pembaca. Ada yang mungkin menyukainya karena sentuhan fantasi yang diberikan oleh penulis,
Bagi saya pribadi, saya tidak begitu terganggu dengan akhir cerita ini. Malah, saya sangat mengapresiasi keberanian penulis dalam mengambil langkah tersebut. Bagi saya, akhir cerita ini menjadi sumber diskusi yang menarik, karena membuka ruang bagi saya untuk merenungkan banyak hal.
Berbicara tentang pemilihan judul buku, yaitu Persona, ada sesuatu yang menarik untuk dibahas lebih dalam. Persona, sebagaimana saya temukan dalam beberapa penjelasan di internet, persona memiliki makna yang mengacu pada citra atau karakter yang ditampilkan seseorang kepada dunia luar. Hal ini seringkali merupakan upaya untuk menyembunyikan aspek-aspek tertentu dari diri mereka atau sekadar untuk memenuhi harapan sosial. Persona menjadi bagian dari identitas yang ditampilkan secara publik.
Namun, saya merasa pemilihan judul Persona ini tidak sepenuhnya mencerminkan konsep persona dalam sisi psikologis dengan keseluruhan cerita yang disampaikan dalam buku ini. Meski begitu, sebagai orang yang hanya memiliki pengetahuan awam tentang psikologi dan hanya mengandalkan penjelasan di internet, mungkin pendapat saya kurang valid. Mungkin ada alasan khusus mengapa penulis memilih kata persona sebagai judul bukunya ini, yang membuat saya sangat penasaran ingin mengetahuinya.
Dalam konteks yang lebih luas, pemilihan judul sebuah karya memiliki peranan yang penting, karena judul adalah jendela pertama bagi pembaca untuk memahami isi dan makna sebuah karya. Oleh karena itu, penjelasan yang lebih mendalam tentang pemilihan judul ini akan memberikan wawasan yang lebih dalam tentang keseluruhan pesan dan tujuan yang ingin disampaikan oleh penulis melalui karyanya.
Keseluruhan, pengalaman membaca buku Persona sungguh memikat hati saya. Meskipun terdapat beberapa kekurangan di sana-sini, tak dapat disangkal bahwa buku ini meninggalkan kesan mendalam dan banyak pelajaran berharga yang dapat saya petik dari cerita ini. Menariknya, saya baru menyadari bahwa Represi adalah karya terbaru dari Fakhrisina Amalia, sedangkan Persona merupakan karya sebelumnya. Hal ini mengindikasikan adanya perkembangan yang signifikan dalam karya-karya Fakhrisina Amalia.
Saya melihat adanya peningkatan yang cukup mencolok dalam kualitas penulisan dan pengembangan cerita dari buku Persona ini hingga buku Represi. Hal ini menunjukkan dedikasi penulis dalam memperbaiki kekurangan dan berusaha untuk menjadi lebih baik lagi dalam menyajikan karya-karya yang menarik. Karena itu, saya tak sabar untuk menantikan karya-karya selanjutnya dari Fakhrisina Amalia, yang saya yakin akan memberikan pengalaman membaca yang tak kalah menarik dan memikat.
Graphic: Mental illness, Self harm, and Blood
Moderate: Schizophrenia/Psychosis