A review by clavishorti
Book Shamer by Asmira Fhea

adventurous challenging emotional informative inspiring lighthearted mysterious reflective sad medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.0

Saat popularitasnya sebagai bookfluencer meroket, Amy Dhriti mendapati dirinya terperangkap dalam pusaran kontroversi. Ulasannya tentang antologi Mimpi dan Harapan Kita memicu serangan pedas dari akun anonim bernama Penulis Amatir di Twitter. Sementara dia dengan gigih memperebutkan gelar juara pada kompetisi Versatile Book’s Reviewer 2019, yang kini semakin mendekat. Bisakah Amy mengungkap identitas penyerangnya dan meraih gelar juara? Masa depannya sebagai bookfluencer terkemuka bergantung pada kemampuannya mengatasi teka-teki ini.

Buku Book Shamer karya Asmira Fhea menghadirkan premis cerita yang tak hanya memikat tetapi juga relevan dengan realitas dunia literasi. Kisah Amy Dhriti, seorang bookfluencer yang mendapati dirinya terjerat kontroversi akibat tuduhan book shaming dari Penulis Amatir, memicu perjalanan penuh tantangan untuk membersihkan namanya. Dalam kompetisi bergengsi sebagai bookfluencer, Amy harus menemukan solusi kreatif di tengah gempuran netizen dan mempertahankan reputasinya.

Sebagai seseorang yang senang mengulas buku dan berbagi pengalaman membaca dengan publik, saya merasa segera terhubung dengan premis menarik buku Book Shamer karya Asmira Fhea. Keakraban ini menjadi pintu gerbang yang mengantarkan saya pada sebuah perjalanan tak terduga dalam cerita ini. Dengan narasi yang mengalir begitu lancar dan mudah dipahami, buku ini secara instan memanjakan saya, menghilangkan kebutuhan untuk menyusun usaha ekstra saat memasuki inti ceritanya.

Ketika karakter utama, Amy Dhriti, pertama kali muncul, saya tidak bisa menahan rasa kesal terhadap beberapa hal terkait kepribadiannya. Rasa heran dan ketidaksetujuan mengemuka di pikiran saya. Muncul pertanyaan, apakah penulis dengan sengaja menciptakan karakter utama yang kontroversial di awal cerita untuk menciptakan ketegangan yang lebih mendalam?
Namun, semua ketidaknyamanan itu seakan terobati saat penulis membongkar hubungan Amy dengan keluarganya. Ini memberikan dimensi baru dan lebih dalam pada karakter Amy, merinci lapisan kompleks yang membentuk kepribadiannya. Saya sangat mengapresiasi keputusan penulis untuk memasukkan elemen ini ke dalam alur naratif, memberikan kejelasan yang menyeluruh dan mendalam terkait karakter utama.


Keberhasilan penulis dalam menyajikan beragam nilai berbobot menjadi magnet utama dalam memikat pembaca. Mulai dari isu-isu seputar dunia pendidikan, literasi, pencarian jati diri, hingga konflik keluarga, setiap elemen dibahas dengan teliti dan berimbang. Apresiasi tertinggi saya diberikan pada penanganan permasalahan yang taktis, dengan fokus mengedepankan esensi cerita tanpa terjebak dalam dramatisasi romansa yang berlebihan. Kesederhanaan inilah yang memberikan kekuatan kepada pesan-pesan yang ingin disampaikan, menciptakan kedekatan dan kemudahan bagi pembaca untuk tersambung dengan inti cerita.

Pengupasan kritik sebagai alat analisis dan evaluasi yang membangun tidak hanya menjadi elemen dalam cerita, melainkan pilar utama yang memberikan dimensi baru pada narasi. Saya, sebagai pembaca, merasa terinspirasi untuk membuka diri secara lebih luas terhadap saran dan kritik, mendapati diri menemukan pemahaman yang lebih dalam akan urgensi menyampaikan kritik secara konstruktif.

Selain itu, salah satu momen puncak yang membedakan Book Shamer dari karya-karya lain adalah kepedulian mendalam terhadap isu rendahnya tingkat literasi di Indonesia. Penulis, dengan cermat dan penuh kebijaksanaan, menyoroti bukan hanya sekadar kesulitan akses terhadap bacaan berkualitas, melainkan membuka diskusi yang mendalam dan meresapi seluk-beluk tantangan literasi di tanah air.

Dengan gaya penceritaan yang mendetail, buku ini mengajak pembaca masuk ke dalam kompleksitas realitas literasi di Indonesia. Melalui cerita yang melibatkan karakter-karakter yang hidup, pembaca dihadapkan pada realitas sulitnya akses bukan hanya untuk memperoleh buku, tetapi juga bacaan berkualitas. Dimensi sosial yang dihadirkan ini bukanlah sekadar ilustrasi, melainkan pintu masuk ke dalam dunia nyata masyarakat. Pembaca diajak meresapi betapa tantangan literasi menjadi hambatan nyata dalam upaya pendidikan dan pengembangan masyarakat. Ini menciptakan dampak yang melampaui batasan sebuah cerita fiksi, merangkul kepedulian dan keinginan untuk membawa perubahan di dunia nyata.

Sayangnya, di tengah kekaguman saya terhadap Book Shamer, saya menemukan satu catatan kecil di halaman 151 yang menimbulkan kebingungan seputar perbedaan semester kuliah antara Amy dan Raynar. Apakah ini murni kesalahan ketik yang mengganggu mata saya ataukah ada nuansa pemahaman yang terlewatkan? Pada bagian tersebut, tertulis bahwa Amy masih berada di semester tiga sementara Raynar sudah melangkah ke semester tujuh. Seharusnya, menurut logika, bukankah ini mengindikasikan bahwa Raynar berada dua tahun di atas Amy, dan bukan hanya selisih satu tahun seperti yang terlihat? Kejanggalan ini memunculkan pertanyaan di benak saya, membingungkan antara fakta di halaman dan realitas semesta cerita yang dibangun oleh penulis.

Meski begitu, kebingungan seputar semester Amy dan Raynar hanya seperti satu bintang redup di langit yang gemerlapan. Keseluruhan, buku ini terbukti menggoda dengan kompleksitas permasalahan yang disajikan secara sederhana. Sebagai penantian panjang yang akhirnya terbayar, saya menikmati setiap halaman buku ini dengan antusias. Dengan penekanan mendalam pada isu literasi, Book Shamer bukan sekadar hiburan, melainkan sebuah panggilan untuk bertindak. 

Penulis berhasil menanamkan refleksi mendalam, memotivasi pembaca untuk merenung, bahkan menginspirasi kontribusi nyata dalam meningkatkan tingkat literasi di tanah air. Terima kasih kepada Asmira Fhea atas karya yang membuka mata ini. Saya tak sabar untuk menemukan lagi keajaiban kata-kata Asmira Fhea di karya-karya berikutnya.